1993 1995 1997 Aguk Irawan Mn Agus B Harianto Agus B. Harianto Ahmad Syauqillah Andhi Setyo Wibowo Andika Ananda Andong Buku #3 Arti Bumi Intaran Balada Balada-Balada Takdir Terlalu Dini (Ballads of Too Early Destiny) Bentara Budaya Yogyakarta Berita Utama Biografi Nurel Javissyarqi Brunel University London Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Daniel Paranamesa Denny Mizhar Diskusi 3 Buku Sastra 22 Juli 2011 di Yogyakarta Eka Budianta Enda Menzies Hamdy Salad Ibnu Wahyudi In memoriam Indrian Koto Iskandar Noe Jogjakarta Jombang Jual Buku Paket Hemat Jusuf An Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kedai Sinau Malang Kitab Para Malaikat (the book of the angels) Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Laksmi Shitaresmi Lamongan Lathifa Akmaliyah Leo Tolstoy M. Yoesoef Media: Crayon on Paper Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Murnierida Pram Naskah Teater Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 PDS. H.B. Jassin Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Puisi Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Reuni Perdana Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak 1991-1992 Robin Al Kautsar Sabrank Suparno Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Teater Jerit Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra ke #24 di Warung Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sunu Wasono Syaifuddin Gani Tarmuzie (1961-2019) Ts. Pinang Ujaran Universitas Indonesia Veronika Ninik Welly Kuswanto Wislawa Dewi

5.30.2010

KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I - LXXXVII

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=221


Deburan tinta hitam dihabiskan demi gairah kobaran,
langit bergemintang di dalam tungku kegelapan (VII: I).

Bebijian api memercik menerangkan malam,
berbara sebelum dijemput abu usia (VII: II).


Seyogyanya kau siap membaca,
walau pikun menguliti peristiwa (VII: III)

Didengarnya bayu pengajaran bimbang,
sedalam perasaanmu menguliti kemanusiaan (VII: IV).

Resapilah kedamaian ganjil di saat kekhusyukanmu,
esok takkan gusar pecahkan beling hening tumpahkan niatan,
dunia kecilmu telah sanggup berbuat adil (VII: V).

Seumpama gandul kalung, ini ketidaktenangan berharga,
beratnya murni sekencang was-was merestui pernikahan cinta,
dan dapat pula berprasangka serupa kawanan kabut purba (VII: VI).

Kau dengar para malaikat pada berbisik setelah mengintip dirimu
tiada risau lagi bekerja, kala nyawamu dalam timbangan kasihnya (VII: VII).

Menjalani kodrat yang terpanggil segera hadir,
pena tenggelam ke dasar kalbumu, mencipta garam di kebekuan waktu
yang berasal dari kesadaran nurani walau tanpa sesosok wajah (VII: VIII).

Hantu-hantu di barisan awal terlewati, muka penuh luka rasa malu,
selalu dikenang lukisan belaian memicu nyala cinta tersembunyi (VII: IX).

Biar lecutan badai menumbangkan pepohon, ranting menghujam
menghalangi mencapai ketinggian, kau takkan mengubah arah terbang,
cahaya kata-kata menembusi lapisan langit kebiruan pujangga (VII: X).

Kau masih membisu sepenantian lumut berkabut, ruh hayat menemanimu
di hamparan masa-masa membatu, di sini telinga menyimak kekhusyukan telaga,
rindu akan perbincangan reranting berfatwa kesegaran daun kalbu (VII: XI).

Tinta terus melaju, ujungnya segoresan tekad bertempur,
perhelatan niatan tumpah saling menindih menikam (VII: XII).

Tancapan pena menandai garis depan, arwah para sahabat berbicara
kehendak tak terikat, keyakinan mengalir dari tingginya kesadaran (VII: XIII).

Para pembawa beban berjalan setebal kertas menderita kehujanan,
kepekaan ini mendukung bulan hadir di ingatan,
jelaslah pandangan merekam percik yang lalu (VII: XIV).

Berhenti takkan puas walau mabuk persembahan,
maka kawinkan ruang-waktu dalam tempaan pelaku
sejauh kepakan sayap menjangkau hasrat dari ujung ke ujung (VII: XV).

Cahaya kata-kata, nafas kebiruan langit pada lembaran usia,
membuka tirai siang-malam diimpi, tiada terbakar kecuali manunggal (VII: XVI).

Buih membutuhkan deras air hujan, kau melayarkan tinta hitam,
lelangkah kaki seirama terbentuk nasib terbentur lapar dalam perjalanan (VII: XVII).

Dirimu menemukan bimbang membosan, menyakiti percaya utuh
menerima keremajaan fajar atas kematangan meninggalkan mainan (VII: XVIII).

Sehabis gerimis mengikuti, awan berarak sesuai aturan
sebentangan gelombang samudra masih terpenjara keraguan angin,
terhukum sulur pepucuk daun-daun pelepah pohon kelapa (VII: XIX).

Menanti mekar harum bunga dijatuhkan kecupan, kesabaran buah
terpelanting di telatah pendapa, kau ditunggu dalam gerbang pengampunan,
disambut senyum penerang jalan (VII: XX).

Tiada cukup hadir sepenggal, pertanyaan gentayangan mencari jawaban,
dan sampailah salam hujan di malam terang selepas bayu menjilat kabut (VII: XXI).

Itu syair membisikkan kelanggengan,
mengisi kekosongan jiwa melewati belahan sunyi (VII: XXII).

Jika tidak selesai diayun terus,
memburu hakekat putus di tangan pelena (VII: XXIII).

Takkan menulis sesuatu bagimu bila tak menyentuh keganjilan,
separuh tersendat, dan mengalir menuruni kesadaran ombak ke muara busa,
sedangkan kau bermata keyakinan pelayar paling pertama (VII: XXIV).

Gagang pena tercerabut dari botol tinta,
warna bencah tanah tumpah darah jiwanya (VII: XXV).

Semenjak awan-hujan berserak beradu tampar,
pecah lampu-lampu kota demi kegenapan gelap pemuda (VII: XXVI).

Barisan kelelawar memburu buah, bak gemintang rontok di telaga,
disebar dari ketinggian malam, datang musim baru melewati tirai-tirai cemara (VII: XXVII).

Angin selatan mengikuti lelangkah gairahmu perdengarkan sabda waktu,
tercurah dari cakrawala ke sumsum kalbumu, dan bumi berserah (VII: XXVIII).

Saat mengaduk relung terdalam, mengeluarkan isi jiwa
mengangkat gema suara kesendirian sukma (VII: XXIX).

Aduhai kalbu merana tak lagi bergolak, panaskan kristal kau simpan,
memberi penanti debaran serupa langkah malu-malu menghadap tersayang (VII: XXX).

Pada semenanjung jauh terdengarlah debar-deburan kalimahmu
memindahkan ruh jaman melarut, menuju keheningan mempesona (VII: XXXI).

Intiplah pesolek tengah malam menjatuhkan embun dedaun,
mengobati gelisah, sesegar jiwamu memulihkan keyakinan terdalam
sedari lorong keremangan, tangguh menuju cahaya ketabahan (VII: XXXII).

Sampailah bahasa angin yang mereka kira membisu,
alunan derai kesadaran menjemput kepastian (VII: XXXIII)

; suaranya berkumandang menyisir rambut penari,
ketika lambaian ritme berubah, meronalah bola matamu,
kaulah saksi kesungguhan tidak terukur (VII: XXXIV).

Nyamankan tempat dudukmu biar menyentuh kedamaian, nyanyian pelangi
senada sapuan kuas terpadu, komposisinya di kanvas langit perasaan (VII: XXXV).

Burung-burung berkicau di selat lepas memperdengarkan lagu merdu,
yang menggenang di kediamanmu (VII: XXXVI).

Serupa kincir angin bersemangat menggaramkan pantai (VII: XXXVII).

Kau mulai menyetujui lintasan lain di hati
dan ada keinginan ke sana (VII: XXXVIII).

Masukilah walau bersusah payah, dan bukalah kepribadianmu paling gaib,
singkirkan ilalang pengganggu, agar tak meragu ke padang bulan (VII: XXXIX).

Dinding langit berawan menghadirkan mentari, anak bayu mengipasi
keringat tiada kecemasan menghentikanmu, kau berpengharapan (VII: XL).

Berdiam diri dan hembusan selalu menyapamu,
tarian jemarinya berdaya lembut, penuh santun mengembalikan cinta (VII: XLI).

Perhatianmu, bibir bergerak tersenyum takkan jauh
lalu angin para sahabat bernafaskan engkau (VII: XLII).

Perhatikan kehendak tinggi, usah berpaling penggalan hati,
utuh menerima ketulusan, mencatat di lempengan tersirat (VII: XLIII).

Mengadulah selagi kangen, lantas baca kulit ke dalamnya,
kau menemui kemuliaan, membuka diri dalam sel pertaubatan (VII: XLIV).

Sebagian berucap, ini tungku durung mematangkan air periuk,
daun-daun belum mendapati manfaat pasti, dan pebukitan meragu
menyaksikan gelisah semalammu bernalar dangkal (VII: XLV).

Berkali menempa jiwa dipanasi bara diisi baja, ini prosesi percikan cahaya
kepemudaan penuh, kesabaran menguak sabda bertameng waspada (VII: XLVI).

Adalah keris gandring merebut wanita dari genggaman,
simbul ditakar menyelamatkan penikam, sebelum-sesudahnya
ternyata alam menghukum nilainya sendiri (VII: XLVII).

Tampak hasrat semesta laksana titah pujangga
terbuhul dalam sabda pandita kecewa (VII: XLVIII).

Api membakar kayu berbara, berteriak jikalau dicelupkan ke bejana,
hutan gosong melegamkan kulit malam, membutakan burung menembus pekat,
sayap hangus tubuhnya matang, atas mendenguskan nyawa percintaan (VII: XLIX).

Ribuan kelelawar memadati mata siang, doa menyelinap dalam tubuh keris (VII: L).

Pamornya mengalirkan daya penciptaan, memasuki lembah darah
tersedak ke jurang pertapaan (VII: LI).

Kuda tanggung menggagalkan kesabaran, kepulkan debu melempar kerikil
melepaskan ikatan nasib, menjalankan gerak takdir besar pemberontakan (VII: LII).

Pada empu mengoyak prahara muda, keduanya berebut keris tanggung
yang belum dilambari mantra pengikat keadilan semesta (VII: LIII).

Inilah jiwa-jiwa kesumat mencederaikan anak-anaknya,
tertikam milik sendiri sebagai awal sejarah tragedi (VII: LIV).

Yang menyesal meninggalkan gelanggang,
dalam dadanya bersimpan nyala juang (VII: LV).

Demi merontakkan kembang mayang atas sentakan bayu kemenjadian,
sekelepakan kelelawar menebarkan hawa malam sebelum berpapasan (VII: LVI).

Berebutan ditarik magnit itu wajah pergerakan, jikalau buah asam muda
rontok berjatuhan ke jalan-jalan diderai hujan deras, angin lembut menderap lekat
dan debu-debu beterbangan menutupi kegundahan (VII: LVII).

Kalau buah jambu menyusuri sungai dari derasnya arus,
mata pencarian terhempas waktu menuju penentu (VII: LVIII).

Kilatan petir menabrak dada mega menyeret luka,
wewarna senjakala menumpahkan darah ke lautan jingga,
lintang berkedip duka, bukan murka lain tapi malam pencerah (VII: LIX).

Dahan patah mengeringkan buah hampir masak, sungguh topan bopeng
menampar tak berbulu-pandang, menjadikan putik ranum runtuh sia-sia (VII: LX).

Telah terjadikah? Dan sudah bertibakan menciptakan buah lebih murni
atas goyangan dedahan, kemontokan pada pepohon musim perindu (VII: LXI).

Malam siapa lengang? Pembunuhan terencana kepada tubuh alam terlelap,
darah mengalir tak terhindari, dibius bayu kerucut setajam belati waktu (VII: LXII).

Setinggi tanjakan membebas, sayap elang kaku tiap paginya direntangkan,
kepakannya yang lembut itu bakal menguasai medan peperangan (VII: LXIII)

; menjelajahi padang gemawan mengarungi kabut padat menggumpal,
memperbaharui selat-selat lepas lelangitan (VII: LXIV).

Sayup-sayup terdengar suara menghampiri telingamu;
rajaku rajawali, daunku daun jati, embunku di pohon trembesi (VII: LXV).

Nafas-nafas memenggal kekuncup, tinggi gelisah lengkingan menjauh
kepada hasrat batas waktu, tempat tinggal melesat (VII: LXVI).

Pusaran berhawa bangun tambah meninggi, bayu berbondong
memberi ketenangan pada kepalanya penuh santun bersahaja (VII: LXVII).

Datang lagi suara; rajekku rajekwesi, jiwaku dibawa turangga sembrani,
suaraku takkan lenyap, walau pohon bakau tidak lagi di pantai (VII: LXVIII).

Ladang gersang retak kemarau, bebijian jatuh ke dalamnya,
ini kematian pendapat tanpa kabut membayu bersalaman (VII: LXIX).

Ia membangkit di waktu tepat, diguyur kesungguhan tirakat
sesenggol daun tegas melebar yang basah menghidupi (VII: LXX).

Hujan lelehan awan, pecah ke selangkang bumi setengah mati,
dihidupkannya rerumputan, bunga nan pepohon yang lalu (VII: LXXI).

Kemarau lama dikembalikan bugar bagi putaran waktu memasa,
menuju panen menunggu perkawinannya burung-burung (VII: LXXII).

Waktu petang hari melipat-lipat mega, matahari bersiap-siap
menyelami samudra, mendatangi puncak usia pagi (VII: LXXIII).

Yang tertelan di lembah padang, redup ke ladang ilalang,
ini memasuki alam temaram ketidaksadaran kalian (VII: LXXIV).

Bumi menggelinding melewati uap dan bulan bercincin awan,
grafitasi membebani tulang punggung para pejuang gerilya (VII: LXXV).

Lapisan langit menggerakkan nasib bumi demi dunia kalbu terbuka,
jantung berdegup, warna melenturkan kuasa rasa bertujuan cinta (VII: LXXVI).

Mata tersedu, tubuh berdetak, sesal bercampur bergetar menggejala,
ia bagai Pronocitro-mu, lekat membayang dalam tatapanmu (VII: LXXVII).

Kilatan mata batinmu ke alam sadar kerahasiaan rimbamu
dan Ni Roro Mendut sangat cukup tergolek (VII: LXXVIII).

Pronocitro berkata; ”orang tuaku terhanyut digulung ombak samudra,
akankah aku bertenggelam di dasar lautan asmara? (VII: LXXIX).

Gelombang di tanah pertiwi mulai menghempas, mengganas,
lalu apakah diriku bernasib sama seperti ayahanda?” (VII: LXXX).

Dengan apa insan menghentikan perasaannya yang kian berat?
Lelangkahnya tertatih gemetaran, merangkak kepada kasih sejatinya,
sungguh dirinya bergumam dalam-dalam bertekad (VII: LXXXI).

Milik siapa pun juga darah bergolak, menggelegak,
walau bagaimana kebertemuan rasa semakin menambah (VII: LXXXII).

Gejolak hati mengisi makna kisah-kisah
melahirkan kata sedari lautan jiwa sesungguhnya (VII: LXXXIII).

Kegemarannya yang lalu menyabung, ayam jantan nasibnya (VII: LXXXIV).

Dan ia mulai mengenali madu pembalut keris itu,
sedang kau terpikat ayam aduannya (VII: LXXXV).

Namun ketetapan tetap ia serahkan bagimu,
demi alam juga waktu, dan teruntuk kabut serta batu (VII: LXXXVI).

Sebab tulusnya lidah tinta merindu Sang Perindu (VII: LXXXVII).

~Nurel Javissyarqi~

Nurel Javissyarqi dan Para Apresian