Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=207
Jalanan pekabutan menidurkan daun-daun, burung terbang tertutup gelap,
isyarat cerecahnya mengikuti musim, di mana bebijian berkembang-biak (XIV: I).
Barisan mega putih di langit ungu tempaan tua,
semua di bumi terlelap oleh ayunan gelombang, dan ia di jarak terdekat (XIV: II).
Berguru kepada abad musim silam, setangkup rindu mekarkan kenangan,
sayap-sayap mentari waktu meninggalkan bayangan
bagai setepuk penunggang kuda segera terbang (XIV: III).
Tempat memanggil berharap ia bersinggah
lantas koakan gagak, secepat maut memberi kabar berita (XIV: IV).
Kala awan menajamkan angkasa, gerak nasib berputar di poros setia,
mulanya debu, gas, air dalam kebekuan renungan, hukum ditandakan (XIV: V).
Kupu-kupu dalam dadanya menjelma bunga,
menawanmu serupa sangkar tanpa pepintu (XIV: VI).
Putri raja menjadi pelayan sejak ia merentangkan dahaga
oleh tiupan angin kekasihnya yang sungguh berpengaruh (XIV: VII).
Lambung yang lapar mereguk sangsi meneguk keyakinan, lihatlah
kayu-kayu kering berguna unggun dalam tungku pematang air (XIV: VIII).
Penghuni bumi semakin rapuh, sepeluk telaga membasuh jiwamu ia impi
berkepompong senyawa pucuk daun manunggaling bayu semesta bathin (XIV: IX).
Sebelum bulu-bulu tumbuh menemui mata angin gantungan waktu,
ia merasakan sakit ketidakadilan diri, rongga pernafasan kering kerontang,
gunung-gemunung tanpa pohon, sungai mengalir limbah fikiran (XIV: X).
Satu buah jatuh lainnya was-was, ini gambaran cinta kau rasakan
kematian datang manakala teringat gemuruh prahara asmara (XIV: XI).
Memasuki ragu keterbatasan angan menghembuskan ombakmu
di setiap pantai, walau punggung renungan tak sama menunggu (XIV: XII)
; kepakan sayapmu menembusi wewarna lentera,
menaiki lengkungan pelangi pada mega-mega (XIV: XIII).
Datang berkelenengan, lincah memahat setelah berperang (XIV: XIV).
Ikut nikmat terburuk dicukupkan, tinggal menghiasi malam berbintang,
gerbang kerajaan langit terbuka lebar, oleh siang terang-menerawang,
awan-gemawan menggelepar kabarkan musim pergantian (XIV: XV).
Kapal menghadap samudra seakan berucap;
aku kan menemuimu hingga pucuk dunia (XIV: XVI).
Marilah melambaikan tangan sebenang-benang layang terpanjang,
senyum akhir berjumpa hukum tangis pertama bertemu pula (XIV: XVII).
Kapal sebesar bukit membelah gelombang menyibak ombak,
rambutmu terurai bayu lautan, burung-burung camar melepaskan salam,
maka kembalilah kepada pantai kekasihmu sayang (XIV: XVIII).
Memandang tepian cukup hawatir mendung berpendar senja,
mentari mengajak kidungkan kisah digubah rentangan masa (XIV: XIX).
Senjakala di hadapan akan tenggelam ke dasar lautan
melepas kebijakan malam menaburkan senyuman (XIV: XX).
Magrib memasukkan kapal ke selat lepas, gulungan ombak mengganas,
mengoyak kangen merindu-rindu rupa di perbatasan kaweruh (XIV: XXI)
; setinggi lembing pecah di tubuh jiwa gemetar, mula sayang kejujuran
dan nasib setia pada diri sejati (XIV: XXII).
Bunga bulan tanpa hawatir tidak purnama,
saling menatap tiada sunyi curiga (XIV: XXIII).
Diam terbuai belumlah usai, dingin menelusup sepelan langgam;
nahkoda tentukan keselamatan, menuntun ilmu mencari jalan pulang (XIV: XXIV).
Fajar datang kapal masih berayun, kau was-was menanti dimulainya pagi
tampak wajah keperakan bersenandung ombak memecah hawa purba (XIV: XXV).
Langit siang mendung layar terhuyung, curiga degup langkah mega-mega,
bukankah dirinya masih setia, dan tuhan senantiasa menjaga jiwanya (XIV: XXVI).
Semilir bayu meluas ke mana muara angan berlalu, ia di kepulauan bersyair
ini balada kasih tiada pernah berjumpa, hilang terasa menggali nyata (XIV: XXVII)
; menguras lautan rasa melepaskan rantai ia malu,
mengaduk-aduk di dasar relung hatimu (XIV: XXVIII).
Dari balik awan ia mengintip, sungkan berbalas pantun
padahal ruang-waktu memberikanmu segunung senyum (XIV: XXIX).
Kertas tersimpan dalam botol, hanyut mengapung di laut terkuak pula,
hati diguyur gembira, dan pelamun dihunus keris berkelok setia (XIV: XXX).
Awan berteman mengarungi, waktu berjalan di langit kamarnya,
seharian tanpa nilon hujan, sebatas senja menyandarkan kisah (XIV: XXXI).
Waktu magrib di atas kapal, dua keping hari dipertaruhkan,
hamparan langit-lautan, ombak-awan, bintang berseri malam itu bertulis kelegaan,
secepat hitungan tubuh lelap, kala tidurmu di atas pebukitan (XIV: XXXII).
Berselimut kabut, kembara menuntun mimpi kepada tanah kelahiran baru,
pelabuhan mulai tampak disambut camar berlarian dunia kecilmu (XIV: XXXIII).
Siang terik memaksa keringat dewasa, anak bermain dalam rahim nurani,
ucapkan salam kepada leluhur yang hampir tanahnya tersentuh (XXXIV).
Menaiki tangga ke anjungan, terbayang wajah saudara-saudara,
kapal menyisiri puluhan sampan, selat berkelok terlewati (XIV: XXXV).
Terpampang tirai kalbu awan rindu dan segera
segala kangen bertemu hujan bagimu (XIV: XXXVI).
Berkuda melalui pepohonan karet, semak belukar di bibir jalan membukit,
sulur pandangan menyanyikan jiwa memasuki ketenangan badan (XIV: XXXVII).
Di gerbang kota kau berbisik sesayap awan merunduk mencurahkan hujan,
pebukitan kapur menceritakan rantaumu sedari balik kerudung (XIV: XXXVIII).
Kau tersenyum kecil mengambili bebunga harum terjatuh,
tiada ingin layu, larut dalam waktu membisu (XIV: XXXIX).
Sepenggal syair di negeri lain, tujuh pulau cantik tengahnya berdanau,
tempat bidadari bermandi sendawa, di jalur pelangi saat kembali, bagi yang setia
tak kurang ragu, manakala dewa-dewi merayu pribadi di kala kau pergi (XIV: XL).
Seperti surat yang lalu penyambung guratan ruh,
ini dentingan menggenta dari degupan dada terbakar tungku jaman (XIV: XLI).
Kidung berseratkan makna dari akar-akaran nyata,
kadang sebatang pohon hangus, tumbuh di antara mega (XIV: XLII).
Keterjagaan nyala api, sumbu lilin menarikan cahaya,
membumikan hening (XIV: XLIII).
Yang hilang kembalikan gumpalan wangi, kembang kumuda bermekaran,
lainnya gugur keemasan, ini putaran musim menyabdakan pergantian (XIV: XLIV).
Wengi menguasai siang, batasnya terselimuti kabut
dari mana muasal gelisah, sedari bersin pengantar persidangan usia (XIV: XLV).
Di antara malam tiada siang hadir,
bergumam memendam waktu penantian (XIV: XLVI).
Yang menyingkap jubah berbilang,
batu melayang saat kata perjalanan di jemari tangan (XIV: XLVII)
; menulis di lembaran hidupmu akan puncak gunung bersalju
lelehan bersungai, reranting kayu menyamudra rindu (XIV: XLVIII).
Bukankah gelombang tak pernah berhenti memanjatkan doa?
Kau pantas bidadari, hendak ke manakah di waktu serupa? (XIV: XLIX).
Reinkarnasi pengetahuan dalam taman impian, sedari putik-putik
endapan benang sutra tersulam, kalbumu mencari corak penentu (XIV: L).
Sejarah terulang, dada anak berdegup di jantung jaman,
menembangkan malam mengobarkan perjuangan (XIV: LI)
; nyanyian serangga dalam redupnya cahaya bulan,
menangis kesalahan, seutuh darah lelaki mempersembahkan (XIV: LII).
Coretan bergolak pada tarian membuncak,
segaris lapar agung meluruhkan hasrat (XIV: LIII).
Mendaki puncak kabut setipis keganjilan sekuntum kembang
di pinggir jurang ombak memukul batu, melebur berpasir (XIV: LIV).
Ia hentakkan perburuan busur panah,
melengking cakram tak mempat dingin penjara,
tubuh pengab terkulai dicabik burung bangkai, tapi
segenggaman tanah menguatkan tekad (XIV: LV).
Garis pemberhentian itu meringankan,
seperti tiupan lilin perginya lewat jendela ke ruang cakrawala
puasnya menikmati wengi, sesejuk telaga dipayungi pohon (XIV: LVI)
; akar-akar menjalar, ikan-ikan berenangan menghiasi batuan putih,
air bening memantulkan hati penanti kedamaian (XIV: LVII).
Berkali-kali sungsang itu tapakan menghimpit di gelap terpencil,
kau seekor burung mengapung membisu; bagaimana kau sebut hilang
padahal jauh masih setia? (XIV: LVIII).
Merawat kemolekan bayi membaca wajah renungan
kepada jantung hidupmu mempersembahkan (XIV: LIX).
Tak bisa bahagiakan lewat bisikan, baiknya hempaskan tubuh di ranjang
dan sembuh oleh tidur panjang (XIV: LX).
Begitu melupakan keringat berlangsung,
tenggelam dalam dahaga waktu (XIV: LXI).
Meriap ruh kesungguhan mencipta,
menguliti nasib berkepompong, dengan sederhana tujuan (XIV: LXII)
; malam membukakan cahayanya, menerima warna pelitamu,
awan berbondong seharum melati menempati
bermukimnya kisah-kisah perjodohan (XIV: LXIII).
Keheningan kenangan mengembalikan niat suci, anak-anak bermain
kala hijau pesawahan menggapai pegunungan, menilik lewat kaca kereta
sewaktu kebercahayaan menghuni rumah, ruh bergetaran (XIV: LXIV).
Kau tersadar petikan dawai kacau sehembusan taupan melabrak
pepintu-jendela, tubuh-tubuh kaku terlentang kepayahan (XIV: LXV).
Daun kering kemarau melanda, sukma berpeluk isak tangis
penuh sesalan, menyentilkan bara jiwa (XIV: LXVI).
Oh penggelandang menjungkir-balik kebodohan,
kadang rengekan kecil membesar, penentu petapa purna
atau gagal oleh denyutan sungai asmara (XIV: LXVII).
Pastikan menyebut deretan nama kekasih, jagad seisinya kepadamu
akan langgeng dari kebinasaan (XIV: LXVIII).
Habiskan keraguanmu menyusuri jalan pulang,
membimbing iman laksana bara di genggaman (XIV: LXIX).
Ia menulis kehadiran tidak tampak memutiara waktu,
sehelai rambut tercerabut tiada kehendak berkuasa (XIV: LXX).
Kata-kata tidak lagi memuaskan mereka, kau tahu ruang kejujuran,
keheningan suci tiada bercak keangkuhan (XIV: LXXI).
Waktu tertinggal mengekalkan kebaikan,
tertulis hasrat suci mendekatkan diri (XIV: LXXII).
Sebelum sayap-sayap kaku, ujung-ujung tenggorokan hampa,
izinkan mengucap kalimah sakti, teguh menguliti nasib mengisi
demi membuka kilauan tabir penciptaan (XIV: LXXIII).
Di sini penanti menerima ucapan akhir,
kali terberi tiada takut ketentuan (XIV: LXXIV).
Kucuran keringat berdaya jelajah, lelangkah purnama di petang hari
bersambut rintik hujan ke kediaman, sabdanya sesempal iga (XIV: LXXV).
Merpati menghela nafas lalu melompat, runduk mentitili makna
digubah alunan gerimis membasahi pelataran rumah (XIV: LXXVI).
Teringat hamba sungai mengaliri pesawahan,
tanaman padi menyerahkan kuntum kesucian hati (XIV: LXXVII).
Berarak burung malam terbang dari timur, kepakan sayapnya melestarikan
gelap tanpa celah, lenyapnya penglihatan tertelan kabut lembah (XIV: LXXVIII).
Bukankah marmer langit siang menyilaukan pandang,
sedang dedahan mengusik mencari tahu getar kicauan (XIV: LXXIX).
Olehnya burung dalam sangkar siulannya sarat resah,
dipaksa mempercayai, lainnya bebas tanpa rantai kaki (XIV: LXXX).
Dunia embun di daunan pantai, berkilau mentari suburkan awan
pada petamanan tercipta tembang puja-puji kesemestaan (XIV: LXXXI).
Dalam pedusunan semut, dahaga keagungan bersatu serengkuh kasih,
dikecup danau hatinya sesejuk bersentuh kabut keindahan (XIV: LXXXII).
Burung kehausan menuruni tangga awan menuju pinggiran,
ringan melompati bebatuan anak sungai, tenggelamkan kepalanya
berteguk kecipak membasahi kesejukan jiwa lara (XIV: LXXXIII)
; kesegaran kembara setelah merentangkan dahaga,
ini budi pekerti setaburan benih pepadi (XIV: LXXXIV).
Dada berdegup bergetaran dalam palung kenangan,
lama pandangannya untuk dikisahkan (XIV: LXXXV)
; burung-burung musim semi di bara asmara menggugah terbenam,
sekuat memejamkan mata memanggil jiwa-jiwa sekecup berpisah,
ini gubahan manunggaling cinta digayuh sukma (XIV: LXXXVI).
Kepekatan memanas di ubun-ubun padat menaikkan suhu tubuh
menuju kutub, itulah sentuhan nafas-nafas atas bentuk (XIV: LXXXVII).
Udara bersalju mengganggu pemahat kata bersayap,
menembusi air menjelajahi wewarna bayangan cahaya,
menyelimuti wengi hingga fajar menampakkan bulu emasnya (XIV: LXXXVIII).
Diamnya tersimpan alam, tampak dirinya menghafalkan butiran renungan,
membahana ruh-ruh senyawa (XIV: LXXXIX).
Awan bersambut biru langit, kawanan bangau menanti ciuman gerimis,
sayapnya bersisir serbuk kilauan cahaya mentari (XIV: XC).
Ada meruh di kesunyian tanpa ucapan, bebiji besi ditimpa baja malam,
bayu purba menemani pesawahan padi menguning (XIV: XCI).
Ombak mencipta lenggokan layang perbatasan, siulannya anak
memberi kencang angin mengangkat pedut tanpa hitungan (XIV: XCII).
Inilah terwakili lelembaran, kala kau tidak faham permainan,
yang kantuk istirahlah, terbangun segairah bunga dipelihara (XIV: XCIII).
Di sepertiga malam, daun-daun membisu berpandangan jauh
menggeliat tubuh hangat atas rambatan cahaya mentari menyengat,
hasrat nalar gundah mencuat, cambukan petir hanguskan firasat (XIV: XCIV).
Gubahan kejernihan dentingan air di bingkai lukisan matamu
atau relief-relief di kedalaman gua-gua kesunyian mewaktu (XIV: XCV).
Kala gerbang langit terbuka, awan mengarungi lembah ciumi bunga,
matanya tak kalah gemerlap malam, terlewati lidah pahit pecinta (XIV: XCVI).
Inilah surat menguasai jiwa, bagaikan gemuruh ombak memecah masa,
terminum ramuan kembang bagi si sakit menyusuri pesisir utara (XIV: XCVII).
Kuasamu mencengkeram kalbu atas pusaran bayu mewujud percandian,
waktu berpatung paras bidadari, serupa sajak menggejala abadi (XIV: XCVIII).
Persemakmuran hatinya, gemerincing kesejukan sejarah mendapatimu
miliki cahaya, hukum arif ini mahar kasih sayang atom pencarian (XIV: XCIX).
Setelah terhafal, nafas-nafas membakar kertas mengisi penghuni rumah
serupa ikan hidup di dasar hatinya, penyebaran ini pada rakyat jelata (XIV: C).
Cinta buta merambah pada kerahasiaan dunia,
inilah rindu langit menemui bumi (XIV: CI).
Seumpama kangen malam di dada perawan, jaman nan padang njinglang,
karya agung merindu-rindu abadi, seumur memerdekakan cinta lautan (XIV: CII).
Inilah surat pengisi nyawa di dada insan bergetaran mengintip tirai kasih,
kala hikmah ditenggelamkan sesama (XIV: CIII)
; segala pengetahuan menguap ke langitan berawan,
lalu ruh malaikat menangkap bagi sandaran (XIV: CIV).
Hati bimbang gelombang menggoyang tubuh kapal ke pantai pengertian,
cinta kiblat di hatimu seyakin syair takkan runtuh (XIV: CV).
Ruh setia bergelegak, balada hidupmu bagai bebatu
menggelinding ajal menjemput terbang berkuda,
bersaksi awan memayungi perjalanan kembara (XIV: CVI).
Datang kepadamu keabadian, serupa betis sang ratu tersingkap lugu
dalam kerajaanmu, bukankah aktor terbaik mengikuti naskah? (XIV: CVII).
Nyanyian menembusi luar batas, anak turun purnama di jalan-jalan,
menguasai mimpi-mimpi buruk tidur panjang para penguasa (XIV: CVIII).
Dia tegakkan kesucian rumput patah, menyerahkan untukmu gersang
sejauh awan menggapai bukit, rintik hujan membangkitkan pandangan (XIV: CIX).
1993
1995
1997
Aguk Irawan Mn
Agus B Harianto
Agus B. Harianto
Ahmad Syauqillah
Andhi Setyo Wibowo
Andika Ananda
Andong Buku #3
Arti Bumi Intaran
Balada
Balada-Balada Takdir Terlalu Dini (Ballads of Too Early Destiny)
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Utama
Biografi Nurel Javissyarqi
Brunel University London
Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Daniel Paranamesa
Denny Mizhar
Diskusi 3 Buku Sastra 22 Juli 2011 di Yogyakarta
Eka Budianta
Enda Menzies
Hamdy Salad
Ibnu Wahyudi
In memoriam
Indrian Koto
Iskandar Noe
Jogjakarta
Jombang
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf An
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kedai Sinau Malang
Kitab Para Malaikat (the book of the angels)
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Laksmi Shitaresmi
Lamongan
Lathifa Akmaliyah
Leo Tolstoy
M. Yoesoef
Media: Crayon on Paper
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Murnierida Pram
Naskah Teater
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
PDS. H.B. Jassin
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Reuni Perdana Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak 1991-1992
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Teater Jerit
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra ke #24 di Warung Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Syaifuddin Gani
Tarmuzie (1961-2019)
Ts. Pinang
Ujaran
Universitas Indonesia
Veronika Ninik
Welly Kuswanto
Wislawa Dewi
Isi Kandungan Buku Kritik Sastra
- @ Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- # Akhirnya