Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=199
Waktu semakin padat ditempuh, menuju puncak kabut cahaya,
namun hari-harimu, masih saja mengeja satuan-satuan aksara (XVIII: I).
Ia malu sebelum batu-batu itu kau duduki,
maka singgahlah di kedung, agar bertemu ketenangan ulung (XVIII: II).
Angin menyapumu berpusaran menyisiri perjalanan
dan gendang wengi memberi tetembangan (XVIII: III).
Pagi hari terlahir dirawat bayu keheningan pucuk rerumputan,
lentik mata elok mengatup, membuka seluruh pandangan (XVIII: IV).
Ruh menawan persinggahan, memendarkan cahaya ke tanah,
hawa kemarau menderu-melanda, dan lapisan air tumpah (XVIII: V).
Siapa memalsukan pengelanaan, akan hampa dalam persidangan,
disebutlah buih centang perenang, itu ruang belum dikenali (XVIII: VI).
Burung gereja bersarang di tiang rapuh penjajah (XVIII: VII).
Tiada daun-daun menyanyi, rintik mendekati kelayuan, menginjak
tanah kelahiran masa, mengabadikan rukuk pengisian hikmah (XVIII: VIII).
Suara-suara diharumi bayu melintasi tangkai, goyangan kelopak-kelopak
bunga yang mempercepat putaran doa, hingga tandas kasih setia (XVIII: IX).
Berhamburan bunga-bunga ke sudut ruang sembahyang,
dan semua berkendara perbuatan masing-masing (XVIII: X).
Menggerakkan jiwa, mengerami makna setia (XVIII: XI).
Batu-batu memecah urat nadi, langkah kaki ke pabukitan,
kemasyhuran tertimbang hasrat, menuangkan kendi dalam perjalanan,
ditariknya busur panah, dari ibunda lengkingan suka duka (XVIII: XII).
Jika ada siasat peperangan jelas menekan, tersimpan nafas botol tua diasingkan,
sedangkan tangan-tangan menggapai langit hujan membumi serengkuh
keikhlasan senyum sejati, mesti di tengah sahara berkasih damai (XVIII: XIII).
Kidungan rindu menundukkan wajah ke tanah,
gemerincing mataair mensucikan jiwa-jiwa (XVIII: XIV).
Yang belum dewasa ke mana perginya, apakah bersembunyi atau berlari?
Bukannya lebih segar menari laksana rerumputan menyanyikan pagi (XVIII: XV).
Tidakkah alunan terpenjara dalam jeruji kecewa,
maka lewatilah batas jalan itu (XVIII: XVI).
Saat memandangi telaga, wajahnya tumpah rasa malu,
itu air terlepas dari daun talas pecah setuju (XVIII: XVII).
Wanita memotong telinga jaman yang sekiranya tuli,
lewat tarian palet di kanvas sakit (XVIII: XVIII).
Jangan putuskan pita suaramu sebelum pecahkan kaca purba, berilah
ruh ke udara, yang nantinya diterima selaksa anak didik semesta (XVIII: XIX).
Burung bangau memutari candi hinggap ke titik stupa, lawatannya
mempelajari prosesi sejarah, keringat mendidih kemuliaannya terjaga (XVIII: XX).
Bersamanya tak memusingkan, lagi jernih sudah endapan penyadaran,
yang kusut dibasuh kedewasaan, tersingkaplah tabir alam (XVIII: XXI).
Kebimbangan awan lepas berhujan deras, tarian dedaunan bambu
memupus, menyusuri lengkungan senjamu (XVIII: XXII).
Melihat permainan di pantai tak lebih ribuan ombak letih,
terasa dangkal kegilaan (XVIII: XXIII).
Ada kepakan serius merenungkan gelisah, berpusaran angin
meningkat ke pucuk landasan, lantas melesat (XVIII: XXIV).
Rupa lembing terlempar ke sasaran, terbukanya kesadaran
arus sungai mengalir, tidak menuju hutan keangkuhan (XVIII: XXV).
Apakah melewati kakimu? Bawalah berita dedaun gugur,
reranting mengikuti keyakinanmu yang santun (XVIII: XXVI).
Yang berbeban kasih, jangan hentikan hasratmu menghancurkan kulit
sebelum menetasnya bidadari dari telur burung onta (XVIII: XXVII).
Ingatlah, rayuan terkuat berasal dari hawa rindu paling memikat,
kau sungguh menanti kehadiran dekapan mesrah (XVIII: XXVIII).
Puncak ketakutanmu terpejamnya mata, padahal berkedip
saja, bayangan hilang mengikuti petir sambaran tekad (XVIII: XXIX).
Jangan campakkan nyawamu oleh ayunan mengusik kesadaran terhimpit,
terjerembab rekahan lemah, oleh gerimis mendekati sebelum-sesudah (XVIII: XXX).
Dan pepucuk daun tahu perubahan lewat bayu pemikiran (XVIII: XXXI).
Bangunkan ladang rayu menghibur, pelayananmu sungguh (XVIII: XXXII).
Naikilah puncak kesabaran sebelum senja menghampiri dahan akasia,
mentari senja tertusuk duri serupa lebah madu di sarang waktu (XVIII: XXXIII).
Tidakkah senja dan fajar selalu tampak menawan di setiap jaman?
Letihmu penuh makna, seperti mata elang sekental kopi (XVIII: XXXIV).
Hakikat mengerami rahim, pulas di sempalan iga, lelap terjaga tabah,
disentak gelisah menggubah gundah, memasuki selubung rahasia (XVIII: XXXV).
Kasihnya menyingkap tirai-tirai kesadaran,
berbicara ikat tali merindu panggilan (XVIII: XXXVI).
Senyum memukau diammu bergolak, lumut terkelupas perjalanan batu,
sebelum nyawa terlupa nalar waktu arus usiamu (XVIII: XXXVII).
Buah manis sunyi di pohonnya, menanti gugur ke sungai pertemuan,
doa belumlah terobati, kasihnya masih setia menanti (XVIII: XXXVIII).
Pagi memanggil diri, seuntai rambut bidadari lembayung mewangi,
kidung-kidungan suci mengisahkan persetubuhan sejati (XVIII: XXXIX).
Purnama melepas gaunnya di malam lelap, pada akhirnya
perjamuan melewati tarian awan memahat hikayat (XVIII: XL).
Berendam dalam sendang, senandung warna menerobos cahaya,
rambut cemara mengabarkan letak tujuan,
mengikuti kemungkinan datang atau menanti (XVIII: XLI).
Air terjun menghancurkan batu, lelah menggenang mengaliri pesawahan,
pada lumbung padi tidak luput kenangan dalam ruyung renungan (XVIII: XLII).
Kala endapan kecil menggugah bayangan besar tertikam rindu teramat
jauh, langkah-langkah tidak terusik meski oleh kelembutan (XVIII: XLIII).
Genggaman niat mampu mendapati pegangan, pasir dihamburkan dari
guci penyimpanan, tetapi kenapa, kau seberat mulut beracun wanita (XVIII: XLIV).
Lantas siapa membisikkan kata-kata, hanya si lemah puas lupa tujuan,
pekat awan mengendorkan jiwanya, padahal warna pelangi di lentera (TIII: XLV).
Jangan tiup sampai padam, biarkan sumbu temaram sekarat
yang cahayanya mendekati daun pintu fajar (XVIII: XLVI).
Sungguh nikmati bibir pelajar mengulum sukma ke titian jagad semesta (XVIII: XLVII).
Putri angin menarikan lengkungan bambu menjulang iramanya ke telinga
perindu, kejernihan pantulan telaga mengendalikan cermin mata (XVIII: XLVIII).
Ajak sayap nuranimu mengepak terbang, sejauh hasrat menembusi akibat
menanggung kesadaran, meski kabut nasib tak segamblang siang (XVIII: XLIX).
Gema suara malammu menjauh dari tapakan dingin di bukit dulu,
membaca alamat langit seiring beban di pundak kasih setia bersuci (XVIII: L).
Dengarlah tembang puja dalam kalbu pernah terlahir (XVIII: LI).
Singgahlah di arus pembersihan, berharap selembut salju nurani,
lihatlah pemuda melupakan masa, di jalan mentari mengunjungi ketulusan,
bimbang bersaksi, kepada malam-malam pahit meletihkanmu (XVIII: LII).
Kepada siang merawat kesadaran ujung jemari memancarkan daya bening
menyusuri pertemuan, serupa memetik mangga di kebun berbeda (XVIII: LIII).
Di ketinggian desir angin silih berganti, bala tentara menaiki turangga,
namun kenapa kalian malah nyenyak, melampaui ketaksadaran (XVIII: LIV).
Saat terbangun telah di puncak gunung lebat pohon, dan
pantulan bayangan membicarakan kalbu seorang (XVIII: LV).
Begitu tentram selepas keluh kesah menghujamkan
kalbu terlempar impian, pulih dalam pelukan malam (XVIII: LVI).
Kantuk di tengah langkah tak terhitung, sejauh awan melarut
menyeringai pagutan fajar, memberi salam cerecah burung manyar,
dedaun bambu berembun ditiup barongan sewu (XVIII: LVII).
Jangan cukup puas ketika ia membagi-bagikan penilaian,
alam menuangkan perasaan meleburkan debu ke udara (XVIII: LVIII).
Angin mengembarakan daun-daun menuju pelosok senja,
menuruti lengking kasih sayangmu menyingkap leher jenjang wanita,
tersentuh kesungguhan tercurah melewati letih tentunya (XVIII: LIX).
Lahirnya bocah penuhi rindu purnama,
seperti kehendak memetik lintang, atas tangan kesadaran pertama (XVIII: LX).
Mulanya rumput di tanah gersang di bawahnya awan bergerak
memberi perhatian, yang terdiam sanggup berhitung penciuman (XVIII: LXI).
Wahai orang-orang diberkati, bergolaklah dalam tungku matahari, warna
pusaran keluar warangka, kilatan nalar setepis runcing bibir wanita (XVIII: LXII).
Kau anggap senja matang bara, rekat pandanganmu menghampiri sepi,
ayunkan pedang lagi santap daging musuhmu kelalaian (XVIII: LXIII).
Burung-burung pemakan bangkai serupa gemintang,
dan tapakan kuda para prajurit, menghancurkan gelisah (XVIII: LXIV).
Di padang ilalang pertempuran, lengkingan pecah di sisi gelap tercela,
mengundang awan terluka, pedih hujan badai dirasa kembara (XVIII: LXV).
Kemarau panjang melanda, ceceran airmata para janda melegenda,
terlindas tubuh seruling gembala patah tak bersuara (XVIII: LXVI).
Menetasnya telor burung onta bersambut musim pergantian,
sebuah takdir jaman berubah disertai angin penanda (XVIII: LXVII).
Tinta hitam mengalirkan hikayat
pada tanjung bukit karang pertikaian gelombang (XVIII: LXVIII).
Lagi-lagi memperluas kekuasaan, beranjak dewasa menguak kerahasiaan,
lantas ilmu pengetahuan hilang buas, yang tertinggal kearifan (XVIII: LXIX).
Kasihnya mengunjungi para prajurit bersenjatakan panah berapi,
melesatkan sorot mata membius, cahaya hidup meletup kesatria (XVIII: LXX).
Ketajaman tubuh lelaki berkulit tembaga, matang oleh kilatan senjakala,
dan malam menghangatkan selaput daging batang pohon, ditariknya bayu
remaja, berpegangan keheningan mendekati ketinggian (XVIII: LXXI).
Amis darah dibasuh kembang tujuh rupa, persembahkan lahir bathin
gelisah, berharap terkumpul dalam kesucian kehendak hayat (XVIII: LXXII).
Beginikah di dalam lesung, laksana sapi di jerami berasap-asap,
segala doa ke langit peluh, ialah berpasrah satu-satunya (XVIII: LXXIII).
Menjatuhkan bebijian di kebun, kaki-kaki menyeret langkah,
ia terhuyung batin memekarkan padma di tengah telaga (XVIII: LXXIV).
Bebatuan bermandi air gunung, dedaun terhanyut gelora rahasia, ia
percepat hisapan waktu, melilitnya perut di negeri kejujuran (XVIII: LXXV).
Sampai pada langit biru, awan meninggalkan bekasnya memupus,
lalu kabut menurunkan senja di beranda pebukitan barisan (XVIII: LXXVI).
Kelambu malam ramai dipadati penari lampu, berdiam ketentraman
menatap, sirnah keraguan di kedalaman dada mendekap erat (XVIII: LXXVII).
Kepakkan kelelawar segaris bulan terlihat, kau dianugrahi pesonanya,
batang mereranting gugur daun, bertunas di musim hujan (XVIII: LXXVIII).
Alam bersalam bayangan menanti terbukanya tabir bathin kasih,
tergugah di sepanjang sabda mengusung panggilan malam (XVIII: LXXIX).
Kau tunggu kelebatan mengendap mimpi, tidakkah terkenang pertemuan awal,
saat bersama tubuh melayang dihinggapi kasmaram (XVIII: LXXX).
Ombak menuju pantai dalam kantuk ibu menggendongmu, ayunan dipeluk
damai, kelembutan kalbu bertambah akrab, keluh tajam kenangan (XVIII: LXXXI).
Berjiwa bangga ketololan, letak keangkuhan di tempat, menyambungnya tak
teramat tepat nyautnya, unsur panasnya sekuat lidah ular menjilat (XVIII: LXXXII).
Persinggahan ini kian bermakna, meski tiada hirau angin belerang melewat,
tarikan nafas kelegaan dari beban rindu bau kembang, keganjilan jalan kembara,
dan masa-masa memasuki musim berwarna (XVIII: LXXXIII).
Pertemuanmu sayap-sayap jiwa mengepak,
selaksa ombak menyatu beku pada perbincangan pesisir (XVIII: LXXXIV).
Tiba-tiba airmata setia tak terduga menggenang, kenanglah
luapan kasih segenap sedu-sedan ketegasan (XVIII: LXXXV).
Meloncati bebatuan di jalan berlawanan,
kerikil bernyanyi, kaki berdarah, tersandung tersadar ikatan (XVIII: LXXXVI).
Para petani menuntun aliran sungai ke persinggahan damai,
ini bermukimnya lautmu percantik kerinduan langit (XVIII: LXXXVII).
Tiupan bayu seruling menuju tebing mengajak tetumbuhan, merambati
lereng kemuning, ondak-ondakkan pesawahan padi pekerti (XVIII: LXXXVIII).
Inikah tingkatan waktu merawat senandung Keilahian?
Adakah jalan lebih indah merengkuh pengetahuan? (XVIII: LXXXIX).
Membaca ikatan tak terusir badai lupa, umbi-umbian dalam karung
dipikul petani, berkeringat diseka selepas bayu berkawan awan (XVIII: XC).
Langit ditatapnya, mentari menyayat kulit punggungnya,
menempa rambut ikalmu mengeringkan luka hatimu (XVIII: XCI).
Peliharalah nafas sedekah bumi melempar jala-jala angin pantai
pada karang terjal, sebelum akhirnya senang bathin berserah (XVIII: XCII).
Hawa bengi menarik kenangan, menyusuri hening kampung sahaja,
menanti hujan gerimis membangunkan kesadaran gelisah (XVIII: XCIII).
Udara pagi terlintasi benderang mentari menghangatkan sendi,
pori-pori terseka telapak wangi merindingkan urat nadi (XVIII: XCIV).
Anggur tumpahkan nurani atas cengkeraman gelisah dirasuki wedi,
bahagia tercuri, terlanjur berkata-kata jujur terasa jatuh (XVIII: XCV).
Tudung kantuk lesung dihinggapi dahaga menuang kegundahan,
berlayar jauh ke pulau matahari, tak binasa tiada ingkar janji (XVIII: XCVI).
Tinggalkan udara bebas ke sangkar kecil, kekang di hati terjerat kasih (XVIII: XCVII).
Tetembangan gemintang pada lengkungan bulan sabit di jemarimu, semut
di tepian cawan meminum takut tercebur, keluar bibir kehausan (XVIII: XCVIII).
Dia berjalan di atas kertas menyilaukan pandang mencari kelahiran,
awan berhias putih membiru langit mengendap terbang (XVIII: XCIX).
Kepadamu bayu bertemu dedahan mengurai jiwa-jiwa,
tereja merpati terbang menelusup ke sarang teduh (XVIII: C).
Memberi waktu hirup, kepulan di cawan mega
setajam pena mengupas badan debu, menaruh bimbang bersemayam (XVIII: CI).
Angin mendukung aliran sungai, rintihan ombak ke tepian pantai,
menghempaskan awan menerjang jiwa-jiwa (XVIII: CII).
Ia ciptakan kata-kata dari untaian buih berpisah, tinggal menggantung
akhirnya dilupa, dan karang tertegun untuk apa berkata-kata? (XVIII: CIII).
Tumbuh di celah batu, berharap cahaya hangat selepas ditidurkan wengi,
berpancaran daun, embun gugur kabut terbang, berkendara jaman (XVIII: CIV).
Menambah tebal asal tujuan, berhimpun pekat terdukung bayu sekutu,
sukma menyeberangi laut temaram, denting mengaduk kendang (XVIII: CV).
Darah cinta tumpah menghujam, serat bambu menelusupi dagingmu,
kegetiran melanda tungku, berlidah api membakar nadi renungan (XVIII: CVI).
Tunggulah lelehan gunung api, menumpahkan lahar nalar keringkan
pohon, dan taburan gemintang mengenal bulan tersingkap (XVIII: CVII).
Bening cermin hening berkisah kegandrungan
antara malam melarutkan cahaya siang (XVIII: CVIII).
Bersunyi diketeduhan awan di saat hatimu tidurkan bayangan,
dan kutinggalkan catatan ini dalam alam suci kenangan (XVIII: CIX).
Laba-laba dipaksa melempar benang hujan, terik tertelan pandang
melingkari titik keyakinan bayang, dan cahaya mengartikan getaran (XVIII: CX).
Gerak sayap kekupu dirasuki harum kembang mengepak ke taman,
melayang, melepaskan sunyi pelahan-lahan, mengawang hening kabut gontai
sekapas randu, dalam pembaringan rindu musim-musim kemarau (XVIII: CXI).
Dikepul bayu ringan bergerak ke hadirat grafitasi, letak rerumputan basah
embun kesegaran, merambati purnama menerangi wengi berkesan (XVIII: CXII).
Kunang-kunang bercakap mata di kecup gelap terdalam, aduhai penyita
pandangan, nyala bergerak terjerat rasa segenap, bersemedi di ruang khusyuk,
menghitung reranting pada dedahan menggapai muasal (XVIII: CXIII).
Kucuran airmata melewati kesedihan genting kediaman,
meresap ke lemah basah, kejatuhannya ditampung bejana (XVIII: CXIV).
Saatnya turun kemurahan ragu, menuang lantaran
kesegaran hilang, maka aduklah lelah pada cangkir penentu (XVIII: CXV).
Masa dikenyam bibir menawan kesungguhan mengulum senyuman,
langit menyamudra, siapa turun tersedu di tengah angin rindu,
terdorong nurani berlayar merantau (XVIII: CXVI).
Bengi mendekati gelap,
bersimpan sunyi bayangan menyatu segelas pecah pekat (XVIII: CXVII).
Persekutuan tumpah, coretan berkayu lidi bertinta wedang kopi,
ketika menyepakati tumpukan batu menjelma dinding candi (XVIII: CXVIII).
Hening kuyup panasnya melepuh, digiring musim sepatah kata hidup
bertahan, mengambil tubuh membumikan usia jaman (XVIII: CXIX).
Melepas keseharian biasa mengunjungi tempat purba,
demi suaranya kasih sayang tiada pupus sia-sia (XVIII: CXX).
Panggilan kesunyian dikejar mabuk anggur moyang,
setua mimpi tersisa nyata dari harapan putus-asa (XVIII: CXXI).
Lepasnya kata-kata berkumandang sedari jeruji jemari,
mengumpulkan lintang meninggalkan jerat impian (XVIII: CXXII).
Kidungan mesrah perdengarkan bait setia, mulanya meniti tembang
lalu bersinggah pada tapakan hening bunga berduri,
tempat kekal duka murni (XVIII: CXXIII).
Terimalah kesetiaan menemani pada perburuan melelahkan,
menuju gunungan wayang sampai blencong matahari (XVIII: CXXIV).
Hutangmu kapan dipenuhi? Jangan mengeja janji berharap bantuan,
belajarlah menempuh niat, keriangan menyertai bening jiwa (XVIII: CXXV).
Cepatlah agar debu beterbangan, yang perberat itu hantu murung,
maka fahamilah langkah demi titik keterjagaan (XVIII: CXXVI).
Pembebas keraguan sambil malu, tetaplah setia melantunkan tembang
hening, walau terenggut rayu di pembaringan, tiada berubah (XVIII: CXXVII).
1993
1995
1997
Aguk Irawan Mn
Agus B Harianto
Agus B. Harianto
Ahmad Syauqillah
Andhi Setyo Wibowo
Andika Ananda
Andong Buku #3
Arti Bumi Intaran
Balada
Balada-Balada Takdir Terlalu Dini (Ballads of Too Early Destiny)
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Utama
Biografi Nurel Javissyarqi
Brunel University London
Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Daniel Paranamesa
Denny Mizhar
Diskusi 3 Buku Sastra 22 Juli 2011 di Yogyakarta
Eka Budianta
Enda Menzies
Hamdy Salad
Ibnu Wahyudi
In memoriam
Indrian Koto
Iskandar Noe
Jogjakarta
Jombang
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf An
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kedai Sinau Malang
Kitab Para Malaikat (the book of the angels)
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Laksmi Shitaresmi
Lamongan
Lathifa Akmaliyah
Leo Tolstoy
M. Yoesoef
Media: Crayon on Paper
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Murnierida Pram
Naskah Teater
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
PDS. H.B. Jassin
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Reuni Perdana Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak 1991-1992
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Teater Jerit
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra ke #24 di Warung Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Syaifuddin Gani
Tarmuzie (1961-2019)
Ts. Pinang
Ujaran
Universitas Indonesia
Veronika Ninik
Welly Kuswanto
Wislawa Dewi
Isi Kandungan Buku Kritik Sastra
- @ Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- # Akhirnya