Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=229
Istirahlah perempuan agung, sambut mentari esok lewat sedenyar fajar
dan tunjukkan wajah berserimu di hadapan cahaya (III: I).
Bila berjaga, dekaplah kantuk berselimutkan mesra,
akan tetapi lebih terpuji, mengupas berbathin ketenangan (III: II).
Sebab tatapan setia, sepenantian terbangunnya mimpi
selepas pulas mendengkur, atas tegukan anggur kelelahan (III: III).
Penjagaannya tanpa membuatmu serba salah,
dia tidak bodoh menciptakan cermburu,
atau terpenggal pengamatan was-was (III: IV).
Perhatian lembutnya tak sampai merobohkan
yang sedang kau bangun dalam genggaman (III: V).
Jika kekagumannya merepotkanmu, dia rela meninggalkan dirimu
sambil membawa sebuah arti-kata terima kasih (III: VI).
Kalau tentrammu oleh mekarnya payung sekalipun pergi jauh,
tudung itu meneduhkan di kala terik-hujan menimpa (III: VII).
Ia kejadiannya, sedang kau berkas-berkasnya,
ia peniup angin, sementara kau pelukisnya (III: VIII).
Asalnya waktu dari kesadaran usia
dan tidak manusiawi jikalau tak inginkan lebih (III: IX).
Takdir dirinya diperjodohkan, lalu masa berbeban jikalau dikenai denda,
seekor burung mengambili secarik-carik rumput, meringankan masa silam (III: X).
Kau mencari kegunaan sarang ruh selain tempat berteduh,
manakala buih di laut centang-perenang mencapai maknanya,
insan menarik hikmah kendali, belajar kepada alam berkali-kali (III: XI).
Kesempatan itu sepotong pengertian sekilas bayangan,
ulurankan tanganmu ke hadirat kekasih, yang tersampaikan
tak melukai sisi lain, atas segala manfaat nalar bertujuan (III: XII).
Ia tak sekadar bahan perbincangan, telah melewati ondakan penelitian,
kau cendekia menggali siratan, manakala hijab terungkap laksana para utusan
membawa cerlang berbeda, sekiranya mutiara berpahat seribu rupa (III: XIII).
Ia bukan golongan filsuf tulen atau kawanan penyair mapan,
namun sorot matanya jelas berdekatan, tariklah penafsiran darinya,
kau akan kenyang, atas kepribadianmu berdaya magnit (III: XIV).
Jadikan wengi berhias warna berpeluk melodi jiwa dalam percakapan renyah,
semua berlangsung ceria, yang melewati dinding bisu tak sabar menunggu (III: XV).
Jangan menunggu di saat sebagai waktumu,
masa-masa hilang bukan berarti tidak bersamamu, kau berbeban gelisah
membawa ingatan waspada, menjadikan kau sang ratu waktu (III: XVI).
Semenjak itu kau menyambut benderang kedatangannya,
damai tanpa memendam keganjilan, dan petuahnya mengendapkan sikapmu,
jikalau dalam gurauan pesta berangsur, menuju peraduan (III: XVII).
Terimalah kesunyian tak asing, masa menginginkan perhatian serupa,
adillah tersebab kau tahta di kerajaan tidak terhingga, dan kajilah berlahan
sebelum semuanya berlalu sia-sia oleh terlena (III: XVIII).
Ciptakan mimpi-mimpimu berasal kantuk lelah gerilya,
ia bagian terikat, keluar-masuk potongan masa yang terlipat;
lihatlah pekerja di sungai, menimbun pasir mencari bijian emas,
sesekali turunkan bebanmu agar harapan ringan terasa (III: XIX).
Yang sekian waktu berkeringat kepanasan akan baik di kala senja,
meski gerah bersenyumlah di gerbang istirah, ia gandul penunggu pintu (III: XX).
Sengaja berkirim surat tidak sekali itu hilang, berkali-kali insan mengeja
tetembangan ranum menenangkan bayi, yang tampak menderu tangis (III: XXI).
Ia jelajahi kemurnian letih, sekian masa ditinggal demi mencapai makna
persembahan atau pilihan manusia, ditentukan diyakini perjalanannya (III: XXII).
Ia memahami bahasa hempasan gelombang diayun layar bathinmu
membentangi suara kedalaman, berhias bintang berjajar awan (III: XXIII).
Masihkah ingat bintang mana yang kau pilih?
Lantas ia berlalu lenyap dalam gelap malam (III: XXIV).
Anggaplah ia datuk kepercayaanmu
walau dulunya kau membatin di setiap perjamuan (III: XXV).
Belajarlah kepenuhan, agar keraguan terlempar keluar
dari kebencian hukum cincin pernikahan sepenggal (III: XXVI).
Ia menelisik corak cemberutmu lalu memperoleh manisnya, dan merindu
tamparan kedua, ciptakanlah tamparan serupa agar saat bayar hutang tidak
berkeadaan bimbang, ia mencintai harapanmu akan keabadian (III: XXVII).
Telah sampai hasrat bertujuan kepada pipimu kemerahan,
ia membelai rambutmu lalu lekat lembut kulitnya-kulitmu
saat senja berbisik gerimis seusia dedaun bambu,
derai-derainya persembahkan menuju pembaringan (III: XXVIII).
Akrabkan kembali alunan tembang kenangan semilam,
ia meniupkan ruh kehidupan bagi beranjak ke gerbang abad,
bentangan kebiruan berkaki hijau, ditelusurinya jejak gembala (III: XXIX).
Ketersipuanmu menghuni celah-celah kamar beraroma mayang,
kehadiranmu belum cukup dimengerti kekasih jika tak yakin (III: XXX).
Jemari manisnya terlingkar janji menghitung waktu kian misteri,
sudahkah temukan tongkat pencapaian? Timur-barat pecah gelap-terang,
dengan kaki-kaki lincah melangkah meninggalkan firasat salah (III: XXXI).
Siapa menghantuimu? Apakah kau masih bersahabat?
Seiring gamelan terhenti, keheningan menguasai, kau terpejam
antara ganjil nan terus cari penentu dalam goa khalwat (III: XXXII).
Asalnya tanah kita berlangitkan malam benderang gemintang,
beling-bening-hening terjaga kumpulan padat batu, api awan rindu,
lalu gelombang angin mengitari gulungan waktu membeku (III: XXXIII).
Di mana palung karang naik menjebol bibir pasir pesisir,
lantas deraian gerimis memberi lobang ribuan pada logam (III: XXXIV).
Deretan lembut memasuki kodrat alam dari rengkuhan kata
yang rapat berbaris merambat ke pegunungan kelir wayang (III: XXXV).
Terciptanya bentukan mendasar membumi periuk kehidupan,
kelopak-kelopak kembang betebaran, sedang putik-putik petikkan dawai,
tercampur di kanvas semesta jiwa melewati telinga rindumu (III: XXXVI).
Wewarna lempung hati manusia, bergejolak mengikuti irama hujan,
lalu pulung berpindah dari telatahnya semula (III: XXXVII).
Yang mengendap matang menyusuri atmosfer besar,
telaga memantulkan cahaya kasih; kehendak hidup sepoi basah menabur pagi,
bergesek turun menyulami pegunungan purbani (III: XXXVIII).
Rumput ilalang berseri bunga mentari di ketinggian dada segar pemudi
melafalkan serat Centini yang dituliskan pandita sekti (III: XXXIX).
Kenyangkan menghirup perbendaharaan harum kembang
sebab insan tak mampu melukis purnanya keagungan,
menampung lagi mengalirkan anak-anak sungai kehidupan (III: XL).
Bangsa-bangsa asing yang bertambat di kepulauanmu
mendapati semak bakau kesegaran kicauan camar,
bersahutan laguan gelombang, mencipta cikal-bakalnya langgam (III: XLI).
Rindu jiwamu memuncak gemunung berlembaran kabut
merambati sapuan kuas sesayap kekupu mengepak pergi
memikat jemari tangan mata para peri (III: XLII).
Waktu awan menyungkup menjelajahi badan bengawan,
perahu kayu para penjala ikan mengapung kelelahan, sedang para petani
membajak tanah di ketinggian bukit, melihat lembah surga penanti (III: XLIII).
Kawanan bangau berbondong melewati malam kemarau
mencari tanah hujan bagi menetap dan setia (III: XLIV).
Burung-burung pemakan bebiji menaburkan benih
pada belahan semula kosong takdir,
inilah hikayat menundukkan ladang-ladang purbawi (III: XLV).
Perkawinan burung-burung menjaga benang lestari, jikalau sayapnya sakit
terawat kibasan dedaun pagi, dirinya sesekali berlompatan pada bebatuan kerikil,
di saat awan berganti-ganti mengarungi keabadian (III: XLVI).
Melewati jalan kecil, kekuncup mungil berjatuhan seiring dentingan hujan
kepada sulur tubuh rimba kebijakan (III: XLVII).
Merunduk pepadian berisi atas hawa lereng berkisah sejati,
tiada pernah lekang kurun masa dalam percintaan (III: XLVIII).
Segenggam semangat setia pada lengan tembaga pekerja,
mendayung perahu jaman ke matahari di setiap paginya menabur kehangatan,
ia setubuhi bulan setujui bumi dilanda malam (III: XLIX).
Kala musim kelabu tempaan hayat, berulang jiwa meninggikan kenangan
meminum air degan, senyawa perjuangan tidak berhenti bertarian abadi (III: L).
Ia menjejakkan sukma hitam merangsek daya tampan,
kala khotbah dikumandangkan berpuja-puji kekinian (III: LI).
Pada kedalaman gerak, sambaran petir ke pohon membelah gamang,
lalu bintang terjatuh dikecupnya tubuh sungai memanjang di bawah jembatan
yang dilahirkan fajar sedari rimba wengi paling menawan (III: LII).
Jika sepotong roti menyisakan untuk semut sedekahmu
bersinambung putaran terkira ke hulu, serupa mati suri
melewati padang marabahaya dihampiri (III: LIII).
Walau getir ikhlaslah terdampar merestui pengembaraan
atas terdengarnya tetembangan sejauh memikul tandu gerilya,
dan setiamu ditimbangan berkah rindu merdeka (III: LIV).
Di atas tandu ia berseru, apa kalian mencari tubuh-tubuh gentayangan di
bumi sakit? Mereka diam, saling menafaskan angkasa dihempas ke bumi (III: LV).
Menyedot wewarna-keharuman dari altar hening,
bergerak nasib penuh arti, serupa batuan retak di seratnya
oleh air mengalir melewati kelembutan menguatkan jiwa (III: LVI).
Bulan menawan setiap khusuknya mata ke langit terdukung,
inikah nyanyian dijanjikan? Di atas angin bukan melupakan bumi
dan di bawah malam berkeindahan pagi (III: LVII).
Hari siang memberi kematangan, air melepas rantai dahaga,
tanah menyatukan tekad udara bertempat masa, terus melangkah berseri
sedangkan hantu-hantu murung terpenjara ambisi kerdil sendiri (III: LVIII).
Padang tandus dipandangnya menawan, bilamana meraja mengisi jejiwa
sunyi bertembangan, yang terbentuk bernilaikan puji dilestarikan alam (III: LIX).
Sayup-sayup terdiam lenyap memasuki ruang temaram, sukma berbisik;
simaklah kedalaman, jangan perjelas degup jantungmu (III: LX).
Dengarlah nyanyian kalbumu berpukulan genta menenangkan telinga,
sedang pancaran fitroh akan melahirkan jiwamu (III: LXI).
Sapuan kain putih melambai lembut menyiratkan lelaku,
di atas turangga kepakannya menuju gunung kebajikan (III: LXII).
Kepurnaan tekat atas tudingannya, sedang perbedaan drajad
berasal bau keringat kembang perjuangan (III: LXIII).
Tuluslah menyetiai seperti nyawa kembang, tetangkai yang terputus
tampak tersenyum molek kelopak-kelopaknya (III: LXIV).
Perempuan-perempuan itu membawanya ke pasar bukanlah kekejian,
di letakkan karangan bunga itu pada makam raja-raja (III: LXV).
Kembang kering dalam keranjang menanti pembeli sedalam pengabdian,
sekar tercampakkan jemari, merana di kegelapan, pilunya menjelma mulia (III: LXVI).
Seiring panggilan seruling gembala menuntun perindu,
bunyi nyaringnya mengalungkan kalbu bernilaikan merdu,
pertapa merasakan aliran sungai puja-puji matahari
akan meneguhkan bathin berkiblat semesta abadi (III: LXVII).
Kaki-kaki melangkah mata memandang gunung berjajaran batang kabut,
dedaun hijau berperasaan dewasa,
membangunkan rumput menggoyang hening embun (III: LXVIII).
Melewati pepohonan menelusup ke kulit rerimbun,
carang bekas unggun semalam menyisakan asap membumbung
mengisyaratkan puncak kangen seawan mengembang di ubun-ubun (III: LXIX).
Aroma bunga pada tanah pebukitan diguyur hujan ketinggian,
pekabutan sejuk melampaui kehangatan dan embun mencair
dalam muka senyum menggugurkan keraguan (III: LXX).
Rerumputan masa silam merambati cahaya keyakinan,
kelopakan padma terbuka, kekupu kembara lemas di tangan penanti,
dielus sayap tipisnya dan diciumi tubuh cantiknya (III: LXXI).
Kecupan di bibirnya melahirkan kejernihan fikiran,
sukma meranggeh hening yang didamba bulu lembut perhatian (III: LXXII).
Bau kembang melati wanginya ke sudut-sudut jaman, kuncupnya
sedari kurungan semesta, tatkala dada meledak di pusaran asmara (III: LXXIII).
Angin panggung menarikan dedaunan bambu berjemari lentik
pada lengkungan alis matamu menggayuh purnama (III: LXXIV).
Bila membuktikan gairah, merdekalah jiwa-jiwa terpenjara
sebab sketsa sebatas mata dan ruh tak tertangkap olehnya (III: LXXV).
Obor nurani menjilati uluhati dan hasrat tumpah,
jikalau mengasah pedang dalam warangka hikmah (III: LXXVI).
Tapak kuda menebah kencang berlari kepada pasir pesisir memutih,
seterbangnya elang diterjang angin pantai menuju gugusan mengagumkan,
mengejawantah bebijian melekat di taman pengertian (III: LXXVII).
Cahaya mahatari memanggang hujan demi kelestarian, memudahkan tali
-temali kendali turangga sembrani, disentak ke tanah keabadian (III: LXXVIII).
Di taman pengetahuan kekasih, kita fahami aroma kembang,
tetangkai belia menyebarkan putik-putik ke pelosok desa sejati rasa
karena hasrat tertumpah digerakkan alam sekitarnya (III: LXXIX).
Taman bunga kata-kata mengikuti angin kalimat memuara,
sedang bebatuan mulia hanyut ke dasarnya (III: LXXX).
Ikan-ikan di telaga berpandangan tanpa hempasan bimbang, andai pun ada
dedahan patah terjatuh, hanya pusaran kecil beda pendapat lemparan (III: LXXXI).
Lihatlah sejauh mana lingkaran ombak saling bertemu,
bercumbu sedalam ikatan setuju putaran waktu (III: LXXXII).
Matahari memperindah bulan sabit menyetiai wewaktu
mengisi rindu melewati perbincangan membisu (III: LXXXIII).
Kelahiran kasih sayang sakit atas perut ketabahan,
berbuncang guyup kesadaran (III: LXXXIV).
Hari-hari atas percikan air dan api, udara juga tanah-hati,
serta yang tak tertangkap indrawi (III: LXXXV).
Gerak di bawah sadar ketaklumrahan terjangkau realita,
inikah senggolan nasib manusia? Kesadaran tak mencapai mutlak! (III: LXXXVI).
Apalah hebat mengundat, mencampur aduk perkara, sebab kau kehausan,
timbalah sumbur berkah, dan gerimis mempercepat nafas doa (III: LXXXVII).
Menuju awan membumbung merayu bathinmu kayungyung
segala uap membebaskan bayangan menghilangkan cinta bentuk
pula suara-suara penolakan (III: LXXXVIII).
Awan-gemawan terkikis gerimis, sekilat itu doa-doa ditimbang,
ruh hayat gentayangan menelusuri dedaun waktu ke pucuk-pucuk semesta rindu
abu tertimbun tungku, matilah bara oleh gelembung air nafas bayu (III: LXXXIX).
Tunggulah terhempas di bebatuan rela,
dentingan air ketabahan memadukan nada di tepian jiwa (III: XC).
Alam atas sadar itu tarikan benang layang-layang, sedangkan terlalu memberat
di bawah kesadaran, dan di antara keduanya, kelanggengan irama terjaga (III: XCI).
Kuda tersengat kulitnya bersemangat diarahkan larinya kepada bayu nurani,
dulu terdorong,
namun kini kemuliaan fungsikan tali-temali, demi laju masa depan nanti (III: XCII).
Sedang kecenderungan melamun itu sederet keindahan
yang melahirkan senyum tanpa mengetahui muasal-jawaban (III: XCIII).
1993
1995
1997
Aguk Irawan Mn
Agus B Harianto
Agus B. Harianto
Ahmad Syauqillah
Andhi Setyo Wibowo
Andika Ananda
Andong Buku #3
Arti Bumi Intaran
Balada
Balada-Balada Takdir Terlalu Dini (Ballads of Too Early Destiny)
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Utama
Biografi Nurel Javissyarqi
Brunel University London
Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Daniel Paranamesa
Denny Mizhar
Diskusi 3 Buku Sastra 22 Juli 2011 di Yogyakarta
Eka Budianta
Enda Menzies
Hamdy Salad
Ibnu Wahyudi
In memoriam
Indrian Koto
Iskandar Noe
Jogjakarta
Jombang
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf An
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kedai Sinau Malang
Kitab Para Malaikat (the book of the angels)
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Laksmi Shitaresmi
Lamongan
Lathifa Akmaliyah
Leo Tolstoy
M. Yoesoef
Media: Crayon on Paper
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Murnierida Pram
Naskah Teater
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
PDS. H.B. Jassin
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Reuni Perdana Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak 1991-1992
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Teater Jerit
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra ke #24 di Warung Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Syaifuddin Gani
Tarmuzie (1961-2019)
Ts. Pinang
Ujaran
Universitas Indonesia
Veronika Ninik
Welly Kuswanto
Wislawa Dewi
Isi Kandungan Buku Kritik Sastra
- @ Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- # Akhirnya