Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=211
Saat bayu menggeraikan anak-anakan rambutmu,
awan-gemawan berarak menutupi kulit cakrawala (XII: I).
Sayap-sayapnya membentangi bukit tiada gemintang,
lantas terdengarlah gending-gending berasal lereng pedusunan,
tempat muasal persinggahannya langgam tiada berbilang (XII: II).
Pada lembah selatan, tetembangan kadang sayu pula memburu,
tertiup musim dari belakang, atas tempaan jaman silam-semilam (XII: III).
Hari-hari tercurah air terjun tiada penghalang,
bagai melupakan siang pada bongkahan batu (XII: IV).
Tidurlah lelap, malam mendatangimu yang tak enak beranjak,
begitu pulas dihibur sebatang nyala lilin (XII: V).
Tidakkah bepergian? Jikalau menanti belum terbentuk keinginan,
memandang petani di lukisan, amat konyol terkagum tak ke sana (XII: VI).
Di saat menjemukan, percayalah terbebas, nyala obor kemerdekaan
mengepulkan asap menjilat pedut, atas pembakaran kayu semalam (XII: VII).
Bukankah sambillalu terkuasai gerak-gerik dari kesemayaman lunglai,
pohon jati musim kemarau daunnya terpendam menemui segaran (XII: VIII).
Hawa panas merontokkan daun-daun dilepas reranting tidak tersisa,
tinggal batang kering seakan mati, musim hujan mengembalikan lebat sayapnya,
bagai tak pernah terjadi gersang meranggas berpeluk nasib kerontang (XII: IX).
Bau-bau jerami tersulut nyala api, dinyanyian anak-anak tanah bencah,
bayu bersiulan pada kembang turi, sedang tubuh bambu menjulang suling,
daunnya berdendang, menggeraikan kemurnian hati pendatang (XII: X).
Syair menggeliat dari pucuk pena di panggung kertas putih,
menyambut awal kekosongan, melagukan perjuangan (XII: XI).
Merdunya senyum langit merekah di perkampungan,
segenggam debu disebar mengisi ruang panjang (XII: XII).
Menkremasi keris dipercikkan air suci upacara kembang,
mantra seunting sajak kenangan, di wajah saling pandang (XII: XIII).
Tubuh meliar di kamar terbatas, sejengkal-jengkal kesebalan,
waktu mengunyah bunga diam, batu beruap terbakar geram (XII: XIV).
Menelusuri kesunyian pekat sejauh hujan lebat gentayangan,
lenyap di antara was-was kepada batas perburuan gerimis (XII: XV).
Tidak lebih gemuruh samudra dalam dada penat, daun terseret arus
ke dasar rahasia, melarut waktumu, hanyut ditelan abad dilahirkan jaman (XII: XVI).
Bebatuan berserak di rahim semesta, tunduk runtuhnya masa ke tahta hati,
laksana petir menampar pohon, lahar tumpah mengubur badan candi (XII: XVII).
Penggalian sabda pujangga, mengangkat prasasti ular naga (XII: XVIII).
Di dalam percampuran, getaran ruh memasuki gairah abadi,
nyala cahaya meninggi kepada tingkat penglihatan hakiki (XII: XIX).
Berselendang pelangi, menghamburkan cahaya ke ubun-ubun
laksana kunang-kunang terbang malam diharumkan ingatan (XII: XX).
Pekabutan menyelimuti gelap berpendar tiada terjamah datangnya,
ia bawakan sekuntum janji menyetiai waktu demi pepucuk daun (XII: XXI).
Percayalah hidupnya seteguk mengembalikan kenangan,
seawan ditiup kerendahan langit ketinggian bumi lebih berarti (XII: XXII).
Takdir terlahir sebelum embun tercipta, penantian penuh rindu
tinta bergolak mendidih, menggelegak parfum kental masa meruang abadi (XII: XXIII).
Selembar-lembar kertas putih bersuara, jadikan gelak tawa duka tangis busa,
tubuh semakin hangat di pantai senja, itu dahaga kangen pelaut terobati (XII: XXIV).
Ini butiran jangung terlempar ke pulau biru bernafas daun hijau (XII: XXV).
Ilalang kering melantunkan sabda angin bertarian asap perapian semalam,
kidungan lama terngiang menghentak di jalanan kenangan,
kaki-kaki kuda mengusik batu-batu dan debu tanah merah (XII: XXVI).
Seketika banjir berluap nalar diculik perasaan dirampok, bertahun
kehilangan dirimu, kereta lampau harmoninya pada rel sejarah (XII: XXVII).
Pada cermin pesolek, kabut lekang naas di kedalaman sensual jurang,
tercurah kejujuran denyutan mimpi prosesi basah,
tiada melarut di beranda kecuali percikan ruh sedari bara asmara (XII: XXVIII).
Ke kota lama, akrab bulan putih di ladang wengi, pejalan kaki berdebu
mendung mengapung, keringat beradu lembab, tidurnya temukan pipi sebelah
setipis kulit anggur atau kurma (XII: XXIX).
Masa mengajarkan memilih, sekejap berubah di tiap serpihan berdetak,
nasib bersulaman kehendak dan ketetapan masih kepada yang gaib (XII: XXX).
Setidaknya berkekuatan menentukan perubahan lewat pandangan dalam,
ini pengisian menghirup nyawa, denyutan aksara dentuman cahaya (XII: XXXI).
Bola-bola matamu mengartikan bentuk-warna pahit-manis kembang gula,
ada pada lidah anggun mencecap rasa (XII: XXXII).
Kau dendangkan kisah, sampurmu mengembalikan segala,
siapakah yang tertawa selagi kitab kewanitaannya di ujung putus asa?
Meringiskah, manakala algojo membabat leher lembutnya? (XII: XXXIII).
Ambillah kalbu persembahan, milikmu anggur perasan kesadaran,
akan darah kesunyian, serupa burung meninggalkan bayangan (XII: XXXIV)
; kepakannya melupakan silam, kini juga mendatang
tersebab bathinnya kesemsem pelita kekekalan (XII: XXXV).
Tangis tinta hitam mengharumkan kamar khusyukmu, langit mendung
irama ombak ke pulau serengkuh, sedetak nadi samudra membiru (XII: XXXVI).
Tinta habis tergantikan, sengaja tidak kan bertandang, berbulan terguncang,
menenangkan perahu jaman, demi pentas mengembalikan keyakinan (XII: XXXVII).
Tumpangan penjelajah menjadi perlambang, usah berbenci begitu dalam, ia
mengutuki diri, sumpah serapah takkan nekat di halus perawakanmu (XII: XXXVIII).
Ia tahu kau sungguh marah diterima, andai muak membaca,
cobalah simpan terlebih dulu, bukalah di kala senggang sangat lapang,
nantinya bakal mendapatkan persoalan sewajar tatapan (XII: XXXIX).
Masih tampak getarmu dari jauh, bukankah ia tengah lakukan?
Jiwa-jiwa lembut pertemuan ganjil, melihat diri berpandangan (XII: XL)
; pertama mengajak mengikuti mimpi, lainnya menyulam benang,
sedangkan kasih dan sayangnya, di antara kebimbangan mutlak (XII: XLI).
Dapatkan kebaikan diam di sekuntum senyum percakapan memikat
seolah dirantai kesadaran lain, ia tiang-tiang penyangga layar kapal (XII: XLII).
Adalah harapan berkepanjang, menemukan harum kembang di pesisir,
hadirmu mereronceng kembang, tujuh hari kemungkinan berabadi (XII: XLIII).
Lunglai lamunan tiada sanggup menggapai tinggal kenangan (XII: XLIV)
; merambat jiwa-jiwa pendaki pada puncak padat awan bersimpan kidungan,
itu kumpulan semut terapung, bagaikan kapal di permukaan air tenang (XII: XLV).
Sayap kaku bersalju, merunduk kerendahan awan seputih dingin memar,
serupa pesujud di kaki-kaki langit mengucurkan tangisan (XII: XLVI).
Terusik perapian berpijak, kabut melenturkan jemari daun
dan embun merawat denyutan sungai tiada terhingga (XII: XLVII).
Di mana tempat tidak memindahkan samudra,
walau pantai-pantainya tidaklah sama (XII: XLVIII).
Ruh setia takkan sontak, pelayaran mendarat pada ujung telatah,
memasuki hakekat, terdesak memberi atau dipaksa kondisi (XII: XLIX).
Pegunungan mendengkur dan beranjak siang kabut menjulang
mengharumkan kembang di lembah atas aliran sungai abadi (XII: L).
Butiran-butiran pasir dihempas ke pesisir,
suara-suara riuh terekam jaman kepada pantai dunia mendatang (XII: LI).
Fajar pun senja dedaunan kelapa, menyanyikan gubahan gemawan,
ketika kabut ketinggian purna, mengusap punggung kembara (XII: LII).
Sekali hentakan badai kepadamu, tapak kuda mengukir jalannya,
jauh jarak batin tertempuh, dayadinaya rindu menggerakkan kesadaran
menyusuri ladang ilalang terkira sebelum perjamuan (XII: LIII).
Bersua kepulan debu asap dupa,
burung-burung terbang menyisir kulit cakrawala (XII: LIV).
Siapa menarik-narik grafitasi sedari muka langit,
jiwanya kapas ditiup menurunkan benang (XII: LV).
Sesuci ladang retak tumbuh bersemi,
pandanganmu segera tahu keindahan (XII: LVI).
Oh gemawan laksana kuda terbang, dari pucuk-pucuk hijau,
kemungkinan daun-daun memahami datangnya matahari (XII: LVII).
Jika redup tertutup mendung, ayunan hari-hari di sepasang mata elang
serupa petikan anggur di kebun paling teduh, akrab bayu ribuan masa silammu
yang merindu kabar berita kekekalan (XII: LVIII).
Memetik renungan embun, cahaya mematangkan goyangan bimbang,
semua pun gugur, sedang mereka tak tahu, kita telah mencapainya (XII: LIX).
Tarian janur ditarik kebajikan, kau terima hembusan bayu jendela,
membuka langkah sepatu kalender panjang dunia penciptaan (XII: LX).
Marilah pulang kekasih,
sebelum senja di belakang, sedurung gelap di luar kemari (XII: LXI).
Hidangkan secangkir kehormatan, secawan roti di meja tua,
ajakan keikhlasan, harum diteguk penuh kesungguhan (XII: LXII).
Tiada tumpah habis tandas lupa pertemuan (XII: LXIII).
Sakit lupa berkesembuhan dengan menghafalkan tetembangan,
terngiang memahami diri, telah sampai laksana uap usah ditangkap,
rasakan terkumpulnya bulir-bulir embun di bajumu (XII: LXIV).
Atau resapi datangnya jiwa terbalut kulit daging hatimu,
kemarilah wajah lugu nan ayu, kepada musim bunga taman langit (XII: LXV).
Mengantarkan bau keagungan seribu kecupan, pada kelopakan merekah
atas lidah mentari menjilat tetangkai melengkung memahat jiwa (XII: LXVI).
Kalian penuh tanya dijawabnya berkecupan mesrah
dengan kedipan mata kekupu baru bersinggah (XII: LXVII).
Di sebrang angan senyummu mengembang di pelataran, halus
ditumbuhi rerumputan di antara bebatuan setapak taman (XII: LXVIII)
; hisaplah nafas sesegar canda pemuda-pemudi menyirami jiwa
bunga bagimu untuk mereka sebagai kekisah istimewa (XII: LXIX).
Hatimu menggerayangi, kau menerima getar jiwa ruh cinta,
ikuti tarian sukma di panggung alunan nasib digubah (XII: LXX).
Ketika jauh teringat pituduh masa sebelum bersinggah,
tulisan inilah diterangi cahaya menangkap isinya (XII: LXXI).
Berkelana menuturkan tembang belum terdengar
atas kelahiran pinutur menggurat mega di angkasa senja,
bukankah lembar kalbu bertirai-tirai rasa malu? (XII: LXXII).
Kejujuran mengantarkan kejadian kata sebenarnya (XII: LXXIII).
Yang bebas bertemu di meja renungan terikat sebuku,
masa-masa mengikuti alur cerita bakal berangkat dari nafasmu (XII: LXXIV).
Senja semakin tenggelam dalam kebisuan malam,
adakah kau di belakang, berlalu kabut menutup pepintu rumah? (XII: LXXV).
Tangan-tangan keresahan di dada pemuda mencari pagi,
ingin kau kembali memetik sekuntum mayang di hati (XII: LXXVI).
Merekah kecup sedalam nafas akhirmu
hingga seluruh tubuh mati rasa (XII: LXXVII).
Memasuki ruh jaman dirimu tersentak, mimpi terlempar ke jurang,
itu bayangmu melukis kelelawar digerakkan gelap malam (XII: LXXVIII).
Segelas kehormatan kau suguhkan di kota penuh warna,
cahaya lampu membenamkan rindu fajar terbit (XII: LXXIX).
Detak hati menyusuri sungai ke dataran panggung,
memiliki lekuk gelombang kesadaran hukum (XII: LXXX)
; itu rintihan rantai kaki oleh senyummu
sanggup bertahan sampai kini (XII: LXXXI).
Penantian itu menebalkan lembar-lembar rindu, membebaskan penari
menghanyutkan jiwa-tubuh, mabuk meneguk menuang hasrat (XII: LXXXII).
Dada-dada penyaksi berdegup di setiap anak pantai menatap harap,
sukma mengeja terkubur padangan di perburuan mentari (XII: LXXXIII).
Ialah meresapi nafas-nafas letih yang tertanam di dasar bumi
dan ribuan pegunungan mengantarkan mata air hayati (XII: LXXXIV).
Semua mengangkasa bersama angin pegunungan menuruni lembah,
kala petir menampar burung menelusuri di rerimbun pohon (XII: LXXXV).
Jeritan dahan terlempar, namun para petani tetap membajak
bencah sawah dirinya, hujan tanam di musim bahagia (XII: LXXXVI).
Gerimis membangunkan wajah tersentak disiram muka siang, ia beranjak
sambil memunguti puntung, kala imaji habis ditelan kebisingan (XII: LXXXVII).
Di luar nalar-kalbu, mondar-mandir mencari jarum penentu, menyapu
ruang mengamati debu batas waktu, serupa penggali kubur (XII: LXXXVIII).
Beban lapar meringankan malam, gelombang dikejar bala tentara
berjubah fajar, hadir terik mentari berpendar di lautan (XII: LXXXIX).
Pantai kenangan merekam bayangan kaki-kaki bertelanjang
menyusuri pesisir ribuan mil dalam keyakinan menempa mencari (XII: XC)
; menelan masa tiada sadar merogoh kantong bajunya yang sobek,
berjatuhan biji-biji jagung terlahir pada pedalaman penyadaran (XII: XCI).
Seteguk air tak hirau sakit menyerang-bersarang mendaki pebukitan,
khotbah laksana tetumbuhan mendukung jagad kelestarian alam (XII: XCII).
Datang bersuara serak setebal pintu tertampar,
menggedor dinding pertama, senyumnya seharum kembang padma (XII: XCIII).
Warna langit berubah tapi langkah kembara senantiasa terbimbing, apa
ini keheningan? Ia meninggalkan tempat, lenyap dari hadapan (XII: XCIV).
Menarik ujung pena, menari-nari merangkum rindu dari kumpulan
mata takdir bertemu, serupa cerutu tersulut hisapan menyandu (XII: XCV).
Ini gubahan tembang kenangan, daun-daun berdentang,
darah pemuda mengalirkan bara asmara di busur panah (XII: XCVI).
Yang melempengkan perut dekat tulang, nafasnya senyawa hilang
tarikan nasibnya menimba ilham kasih sayang setenang perawan (XII: XCVII).
Adalah menggantungkan hasrat pada lehermu paling jenjang,
seutas temali melingkar berharap lengan gelayutan mesrah (XII: XCVIII).
Masih kau petik dawai jiwa mengeja pendakian tebing kalbumu, inilah
jurang terjal mempersilahkan batuan jatuh rompal ke dasar karang (XII: XCIX).
Ia masih berharap kau bersayap gemawan
melewati lembah menyeret suka duka (XII: C)
; awal gemetaran digoyang kesungguhan
adalah di hadapanmu kesaksian mereka (XII: CI).
Kesegaran hilir membawa ikan bermain deras di arus sungai batuan
cadas, lepaskan pengajaran menyisir rambut dikibas bayu pelepah (XII: CII).
Kau menjelma kabut menyelimuti malam-malam
kali mengikuti hawa sedap bersayap temaram (XII: CIII).
Yang santun melembutkan jiwamu menghadirkan dirinya,
menemukan tak terdengar ke dalam selubung kelembutan (XII: CIV)
; memperbesar buaian kandungan semesta dikerami bebijian hikmah,
kau meninggikan menembusi lipatan maya di dalam perut ibunda (XII: CV).
Kau tinggal mengikuti alur, naskah langit telah dipaparkan
serupa jejaring laba-laba ditarik memutari ketentuan (XII: CVI).
Manusia berjalan sederu debu hayat pengertian, atau inikah
nyala pada remang bimbang keteguhan, hadir demi akhir (XII: CVII).
Mereka menemukan rupa tidak menentu, relief tertimbun lumut waktu
dan terus setelah medapati kedalaman, memiliki lebih dari yang disandang,
seumpama kulit getah, pohon sanggup tegak bertahan olehnya (XII: CVIII).
Ia tak banyak bicara, yakin gerak tercepat senyummu di tempuh,
jalan bersambung-sinambung melompati daya reinkarnasi (XII: CIX).
Mengabaikan kesenangan demi ada meruh di dalam dadamu
berbenam rindu langit menebarkan awan di kota kaweruh (XII: CX)
; anak jaman gelisah, mendung berarak siang mengintai malam (XII: CXI).
Jemari tangan kaku, bendera diguyur kabut perasaan, anak negeri muntah
harta pencurian, dan kau hampir sejajar laut, sayang bertenggelaman (XII: CXII).
Menggedor debu tinggalkan tapak bayang penghabisan, rimbunan daun
menidurkan anak-anak berpeluk angin dedahan menerobos reranting pohonan,
warna-warna kalbumu atas pencarian sungguh mempesonakan (XII: CXIII).
Duduklah, ia kan mengisahkan yang kau alami nanti,
makhluk merayap pembawa kendali fikiran, dan kuda pacuan disebut nurani,
simaklah lapar-dahaga, agar merasa tiada keanehan serupa (XII: CXIV).
Keletihanmu sebelum ganjil mengkuasai diri, kau tahu
kesadaran sakit menuju puncak kerahasiaan sembuh (XII: CXV).
Datang mewabah perasaan berdebar,
duduklah dengan lemah-lembut, agar tutur katamu tidak blingsatan (XII: CXVI).
Tidakkah rantai pengikat tangan terputus dengan sekecup renungan?
Ini kemauannya, biar kau tahu pelajaran (XII: CXVII)
; hidup melempar pijar sinarmu sejauh getar gelisah
sebagai penyempurna pusaran nilai-nilai utama (XII: CXVIII).
1993
1995
1997
Aguk Irawan Mn
Agus B Harianto
Agus B. Harianto
Ahmad Syauqillah
Andhi Setyo Wibowo
Andika Ananda
Andong Buku #3
Arti Bumi Intaran
Balada
Balada-Balada Takdir Terlalu Dini (Ballads of Too Early Destiny)
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Utama
Biografi Nurel Javissyarqi
Brunel University London
Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Daniel Paranamesa
Denny Mizhar
Diskusi 3 Buku Sastra 22 Juli 2011 di Yogyakarta
Eka Budianta
Enda Menzies
Hamdy Salad
Ibnu Wahyudi
In memoriam
Indrian Koto
Iskandar Noe
Jogjakarta
Jombang
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf An
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kedai Sinau Malang
Kitab Para Malaikat (the book of the angels)
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Laksmi Shitaresmi
Lamongan
Lathifa Akmaliyah
Leo Tolstoy
M. Yoesoef
Media: Crayon on Paper
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Murnierida Pram
Naskah Teater
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
PDS. H.B. Jassin
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Reuni Perdana Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak 1991-1992
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Teater Jerit
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra ke #24 di Warung Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Syaifuddin Gani
Tarmuzie (1961-2019)
Ts. Pinang
Ujaran
Universitas Indonesia
Veronika Ninik
Welly Kuswanto
Wislawa Dewi
Isi Kandungan Buku Kritik Sastra
- @ Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- # Akhirnya