Epilog: Sugesti Berhulu Ledak
Nurel Javissyarqi
Aku tak tahu pasti, sugesti atau nyanyian keyakinan,
firasat ataukah ‘ngelayap.’ Ini paparan ‘suwong,’ sebab tanpa duga, tanpa
nyana, memasuki ujung tarian pena, dan tidak berharap menjilat. Segalanya
berdenyutan dipercepat irama runtut, memasuki selubung patut diurut-dirunut,
kemana berlarinya tiada engkau turut.
Ini menurut siapa? Aku punya kisah; ada sumur dalam diri
tidak teruras, nyata sekali menari, tak tahunya berjingkrak. Inikah jiwa
pemusik keras, tersemat di langit kertas? Baru sadari inilah fitroh,
menggenggam setiap hati para insan, menarik garis-garis firasat, menguliti
cengkeraman siasat. Menunduk, tidak ingin berlalu tanpa peneguh.
Mari berbaris di dalam acara mensugesti diri, demi menemukan
keyakinan pribadi, ini bukan tumpang-tindih imajinasi. Tidakkah kebenaran
mestinya dicari? Ayo bersatu dalam pusaran, menenggelamkan serupa kejanggalan
buta.
Kita susuri lelaku (jalanan) kesambillaluan, lewat
menggerakkan yang tidak manfaat, menjelma daya guna hebat. Karena murung tanggulmu
jauh, tinggi serta angkuh, alirkan kemana saja, asal jangan kau tuju tanduran
semangka, sebab nanti ampang rasanya.
Banyak darimu memperhitungkan yang tidaklah harus pelik,
tidakkah jenjang umur menuntut engkau selidik? Maka, sebrangilah halilintarnya
ketakutan diri, sekejam merasakan hidup yang bangkrut, lantaran takut. Yang
tidak percayai pribadi, atau yakinnya tak berbuah sama sekali. Walau pun
tertatih, berlarilah sesuka hati.
Tersebab namamu hidup, daya-dinaya pribadimu mengendapkan
perubahan peralihan maksud. Masak, hanya duduk nongkrong tanpa tujuan juntrung?
Itu kan geli menurutmu, atau kau akan katakan, ‘aku sekonyol selebor?’ Ini dari
ketiadaan menjadi apa-apa, jikalau kau menimba, atau timbanglah walau
jumpalitan, jidatmu kan terkena hantaman pertimbangan.
Sungguh tidak berani mengutarakan, padahal engkau
bermaksud tidaklah sekadar. Marilah mencapai yang terbayangkan, masak hanya
mengimpikan awan, padahal sebentar lagi turun hujan. Rumahmu di mana? Atau kau
akan ‘ngeyop’ pada pekuburan di samping kamboja tua.
Apa jadinya tidak berkenan, dunia semakin terang
cahayanya, hanya kegelapannya pun makin bertambah; dengan pekat apa kau
harapkan? Engkau tidak ditolong, jikalau bukan pribadimu, maka dugaanmu
ditimpakan oleh-Nya kepadamu.
Kau menjadi pembangkang keliru, jiwamu terbelenggu dalam
keyakinan kaku. Akan lembek, menggebu tidak engkau turut. Ini bukan badai
dahsyat masa lampau; apa tidak menggerayangi batok kepalamu, yang telah bocor
lemparan batu? Sungguh bangkrut kemalasan diturut. Ambil segala memori, lempar
ke depan, di sana banyaklah tangkapan. Atau sudahlah, paling kau ngendumel...
5 Desember 2004/ September 2019
Epilogue: Suggestion Had Warhead
Written by Nurel Javissyarqi
Translated by Agus B. Harianto
I don’t know definitely about the suggestion or the
singing of belief, a hunch or stray from the path. This is empty exposure
because of without any presume or unsuspected entered the dance of the pen but
did not expect to lick. Anything pulse was accelerated rhythmically constant
into the veil that should be traced where it’s run and you disobeyed it.
Who said that? I have a story; there are wells in our
self that is not bailed, it seen so real of dancing but the truth was prancing.
Is this the hard soul of musician pinned on the sky of paper? Just realized
that this purity just grasped every heart, attracted hunches and skinned grip
of tactics. Bent down and did not want to be passed without determination.
Let's march in the ceremony of suggest ourselves to find
conviction and self confidence; this is not the overlapping of imagination.
Doesn’t the truth must been searched? Let's unite in rotation to drown a
similar blinded gaffe.
Let’s live along the deed of parenthetically by
mobilizing uselessness reincarnate to be great benefit. Because moodily your
embankment is far, high and arrogant, flow it to anywhere, but don’t to
watermelon plant, because it would be tasteless.
Many of you reckon for the one should be easy, does not
the age demand us to be critical? Hence across the thunder of self fear, as
cruel as feels the life went bankrupt because of fear. The one who does not
trust yourself or your confident was completely fruitless. Although stumbling
to run as you pleased.
Because your name is alive, your personality crept in to
the change of intention transition. How could hang out without certain
destination? It's funny you think, or you said that I'm silly? This is from
nothing to anything, if you bail out or weigh even though turn a somersault,
and your mind is affected considerations.
It's really not brave man to express, whereas you were
intended not merely. Let’s come to the imagined, how could you dream about
cloud, but the rain will fall. Where is your house? Or, you sheltered on the
cemetery beside frangipani of widow.
What will be if you don’t want, the light of the world is
getting brighter, and its darkness is also increasing; with thickness of it
what do you expect? You're not being helped if not by your personality; hence
your premises were befell by Him unto you.
You became the wrong dissidents; your soul is shackled by
orthodox beliefs. It would be softer and passionate but you didn’t listen to
it. This is not the storms of the past; did you know that your head has been
leaking by stones? It's really bankrupt that laziness is obeyed. Take all the
memory, throw it forward, there are many catches over there. Or just forget it,
at least you just grumbled.
December 5, 2004/ September 2009.
***
Biografi Nurel Javissyarqi
Nurel Javissyarqi, lahir di desa Kendal-Kemlagi,
Karanggeneng, Lamongan, 8 Maret 1976, dengan nama lahir Nur Laili Rahmat. Sejak
kecil senang mendengar dongeng, terutama kisah Kuda Sembrani yang dituturkan
buyutnya, Kasipah (almarhum) di dusun Kemlagi. Abahnya (pensiunan) Pengawas
Pendidikan Agama Islam, Drs. H. Tarsan, emaknya Hj. Siti Khotijah berdagang di
Pasar Pahing Sungelebak. Ia anak pertama dari empat bersaudara, adik-adiknya:
Ismiyati Mukarromah, Iftitahur Rohmah, Arif Setiawan. Ia dikaruniahi empat
anak: Ahmad Syauqillah, dari istrinya yang pertama (ia bercerai dengan Isti
Anisa’), lalu menikah kembali dengan maskawin sebuah puisi, bertitel “Sajak
Maskawinku Demi Lathifa Akmaliyah,” lantas dikaruniahi anak bernama Ichsa
Chusnul Chotimah, Wislawa Dewi, Javissyarqi Muhammada, dari istrinya Lathifa
Akmaliyah M.Pd. Bersamanya, tinggal di dusun Pilang, Tejoasri, Laren, Lamongan,
Jawa Timur, pulau terpencil yang dikelilingi aliran Bengawan Solo, setengahnya
lingkaran (sebelah utara) aktif arusnya, setengahnya lagi (sisi selatan) sudah
tidak bergejolak.
Awalnya ingin jadi pelukis dari kegemaran menggambar
sejak belia. Saat di bangku Ibtidaiyah, siangnya diisi menggembala, dimasa
sekolah Madrasah Tsanawiyah, sorenya masuk di Sanggar Alam, diasuh pelukis
Tarmuzie 1989. Ia sempat berpameran lukisan tahun 1990, 1991, (vakum lama,
berpameran lukis lagi ditahun 2001 di Yogyakarta, dan Lamongan). Tahun 1993
hijrah ke Jombang masuk Aliyah Negeri 4, tepatnya 1994 belajar menulis secara
autodidak oleh hasratnya melukis tidak tersalurkan di Pesantren Al-Aziziyah,
Denanyar, pengasuh K.H.A. Aziz Masyhuri (almarhum), seorang penulis,
penyunting, dan penerjemah kitab-kitab Arab klasik. Tahun 1995 akhir,
mengembara ke Yogyakarta, di bidang lukis pernah dibimbing H. Harjiman
(almarhum), dalam dunia kepenulisan, nyantrik kepada K.R.T. R.P.A. Suryanto
Sastroatmodjo (almarhum), disamping bergabung di Komunitas Sastra Mangkubumen
(KSM). Ia jebolan kampus UWMY. Sempat di Santren Darussalam, Watucongol,
Muntilan, Magelang, dan di Pesantren Kyai Ageng Muhammad Besyari, Tegalsari,
Jetis, Ponorogo (menapak tilas Pujangga R.Ng. Ronggowarsito). Tulisannya,
sempat tersebar di Solo Pos, Minggu pagi, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Pos Kita,
Majalah Kuntum, Majalah MPA, Duta Masyarakat, Republika, Lampung Post, dst.
Antologi bersamanya, Embun Tajalli (DKY 2000, bernama samaran Nurla Gautama),
Gemuruh Ruh (antologi puisi bersama para penyair Lamongan, PuJa 2008), dll.
Buku-buku stensilan maupun cetakannya: Sarang Ruh
(antologi puisi dikomentari Suminto A. Sayuti, dipengantari R.P.A. Suryanto
Sastroatmodjo, 1999), Balada-balada Takdir Terlalu Dini (pengantar K.R.T.
Suryanto Sastroatmodjo, FKKH, 2001), Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
(kumpulan aforisma dari tahun 1994-2004, diterjemahkan dalam bahasa Inggris
oleh Mrs. Enda Menzies, Welly Kuswanto, dan Agus B. Harianto 2004), Segenggam
Debu di Langit (segugusan esai dan puisi, 2004), Sayap-sayap Sembrani (kumpulan
prosa serta haiku, 2004), Kulya dalam Relung Filsafat (himpunan kata-kata
mutiara, Bercermin pada Kalender Kearifan Leo Tolstoy 2004), Kumpulan Cahaya
Rasa Ardhana (bersusunan prosa dan esai, 2005), Batas Pasir Nadi (rangkaian
puisi dan esai, 2005), Trilogi Kesadaran (esai kritik; Kajian Budaya Semi,
Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak, PuJa 2006), Kitab Para Malaikat
(antologi puisi dipengantari Maman S. Mahayana, PuJa 2007), Menggugat Tanggung
Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (buku esai kritik, terbitan
SastraNesia dan PuJa, 2011), Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, esai
kritik sastra, diterbitkan Arti Bumi Intaran dan PUstaka puJAngga 2017, Cetakan
ke 2, juga bekerjasama Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo 2018,
Proses Kreatif Saya Bersama Pelukis Tarmuzie, Penerbit PuJa, dan Pustaka
Ilalang Group, 2019, dll.
Tahun 2000, mendirikan Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia
(KSTI) di Jogjakarta, lantas mendeklarasikan Lingkar Seni Budaya Muslim
Indonesia, dan menjabat sekjen pada Forum Kajian Kebudayaan Hindis. Dan bersama
Y. Wibowo sebagai pengkaji di Center For Social Democratic Studies (SCDS)
Yogyakarta. Di tanggal 11 Juni 2001, puisi baladanya Di Bukit Pasir Prahara,
dipanggungkan di Taman Budaya Surakarta, diiringi musik gamelan serta tari
dibantu Komunitas Lapen 151 Yogyakarta. Naskah Teaternya dipentaskan di UNEJ
dan IAIN Surabaya, dibulan Juli 2007, bertitel “ZAITUN; Cahaya di atas cahaya,”
disutradarai Tomtom (almarhum, Teater Tiang Jember). Sempat mendirikan Majalah
Gerbang Massa, Jurnal Sastra Timur Jauh, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Forum
Sastra Lamongan, bergabung di Kostela. Sering memberi pengantar buku lain,
mengisi acara diskusi, seminar, menjadi juri lomba baca-tulis puisi, dan
mengikuti festival sastra Nasional pun Internasional di dalam negeri. Pemimpin
Penerbit PUstaka puJAngga (PuJa) http://pustakapujangga.com/ dan pengelola web
http://sastra-indonesia.com/
***
Biography of Nurel Javissyarqi
Translated by Muhammad Muhibbuddin
Nurel Javissyarqi is an assumed (pen) name of Nur Laili
Rahmat. He was born at a village of Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan
regency, East Java province, on March, 8th 1976. Since childhood, Nurel, used
to be called, has liked to listen to fairy tale, especially a story of A
Sembrani Horse (Kuda Sembrani) told by his great grand-father, Kasipah, at his
village, Kemlagi. His father, Drs. H. Tarsan is a former of Supervisor of
Islamic Education (Pengawas Pendidikan Agama Islam), and his mother, Hj. Siti
Khotijah is a merchant in a traditional market, Pahing Market at Sungelebak.
Nurel is the first of four children in his family. He has two young sisters:
Ismiyati Mukarromah and Iftitahur Rohmah, as well as one young brother: Arif
Setiawan.
Nurel got married twice. His first married with a women,
Isti Anisa, got divorced. From the first marriage Nurel has a son, namely Ahmad
Syauqillah. In the wake of one year of being a widower, he got marriage again
with a woman named Lathifa Akmaliyah and has three children: Ichsa Chusnul
Chotimah,Wislawa Dewi, Javissyarqi Muhammada. He married Lathifa Akmaliyah by
offering a poem entitled, “My Poem of Dowry for Lathifa Akmaliyah” as his bride
price. Nurel and his new wife as well as their kids stay at a village of
Pilang, Tejoasri, Laren, Lamongan, a little land which is surrounded by Solo
River (Bengawan Solo) of which a half of
flow (in north) is still turbulent and the half of one (in south) is
calm.
Initially Nurel dreamed to be a painter. Painting was his
childhood hoby. When he was at elementary school, his activity was herding some
goats after going home from his school. In
1989, when Nurel was at yunior high school, he started to join to
Sanggar Alam, a painting community, for studying of painting under Tarmuzie’s
guidance, a famous painter in Lamongan. In 1990, he once conducted a exhibition
of painting, and in the long time he had vacuum, afterwards he handled
exhibition of painting again at Yogyakarta and Lamongan in 2001.
In 1993, Nurel moved to Jombang, East Java, for studying
in State Islamic Senior High School 4 (MAN 4) and Pondok Pesantren Denanyar led
by K.H. A. Masyhuri, an ulema (kiai), writer, and translator of classical books
of Islam. In this Pesantren Nurel began to learn writing as a substitute for his
passion of painting that he could not express in his pesantren. The last 1995,
Nurel went to Yogyakarta for studying at Widya Mataram University. At this
city, he developed his talent in writing and painting by learning to some
teachers including to H. Harjiman (a painter) and to K.R.T .R.PA. Suryanto
Sastroatmodjo (a writer). Besides that, he also joined to Mangkubumen Literary
Community (Komunitas Sastra Mangkubumen).
Afterwards, Nurel left university and once studied
shortly at Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang, Central
Java and Pesantren Kiai Ageng Muhammad Besyari, Tegalsari, Jetis, Ponorogo,
East Java. His purpose of studying at Pondok Pesantren Kiai Khasan Besari,
Ponorogo, was for retracing a great Javanis poet, R. Ng. Ronggowarsito.
A lot of Nurel’s articles were published either in local
or national media such as Solo Pos, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Pos
Kota, Majalah Kuntum, Majalah MPA, Duta Masyarakat, Republika, Lampung Post
etc. He also published some joint anthology books of poetry like The Dew of Tajalli (Embun Tajalli) (DKY,
2000) by using a assumed name Nurla Gautama, The Rumble of Spirit (Gemuruh
Roh), a joint anthology of poems of Lamongan poets (PuJa, 2008), etc.
He wrote and published a lot of books either for poetry
or essay, such as The Spirit Nest (Sarang Ruh), an anthology of poems with a
commentary from Suminto A. Sayuti and an introduction from R.P.A. Suryanto Sastroatmodjo, Ballads of Too Early Fate (Balada-balada
Takdir Terlalu Dini) with an introduction from K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo,
The Poet’s Words of Life (Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga), a book of
1994-2004 aphorisms and it was translated to English by Mrs. Enda Menzies,
Welly Kuswanto and Agus B. Harianto in 2004, Handful of Dust in The Sky
(Segenggam Debu di Langit), a book of poetry and essay, The Wings of Sembrani
(Sayap-sayap Sembrani), a book of prose, Kulya in the Niche of Philosophjy
(Kulya dalam Relung Filsafat), a set of aphorisms inspired by Leo Tolstoy. A Set of Light of Rasa Ardhana (Kumpulan
Cahaya Rasa Ardhana), a book of prose and essay. The Border of Sand Pulse
(Batas Pasir Nadi) a set of poetries and essays. Trilogy of Awareness: Crtical
Essay, Semi-Culture Study, Anatomy of Awareness and Rebellion Race (Trilogi
Kesadaran: Esai Kritik, Kajian Budaya-Semi, Anatomi Kesadaran dan Ras
Pemberontak). (PuJa, 2006), The Book of
Angels (Kitab Para Malaikat), a book of
poetry with an introduction from Maman S. Mahayana (PuJa, 2007), Criticizing of
Sutardji Calzoum Bachri’s Literary Responsibility, a Critical Essay (SastraNesia
and PuJa, 2011), Deconstructing of Indonesian Literary Myth (Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia), a Literary Criticism (Arti Bumi Intaran and PUstaka
puJAngga, 2017) The second edition of this book was published by cooperating
with Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo, 2018; My Creative
Process with Tarmuzie, a Painter (Proses Kreatif Saya Bersama Pelukis Tarmuzie)
(PuJa and Pustaka Ilalang Group, 2019), etc.
In 2000 Nurel with his friends founded Indonesian Tugu
Poets Community (Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia / KSTI) at Yogyakarta.
After that, he also declared Indonesian Moslem Art and Culture Circle (Lingkar
Seni dan Budaya Muslim Indonesia) and he was also pointed to be a General
Secretary of Forum for Hindis Cultural Studies (Forum Kajian Kebudayaan
Hindis). Besides that, he and Y. Wibowo served as researcher in Center for Social Democratic Studies (SCDS)
. On June, 11th 2001, his ballad book of poetry
entitled, On Tempest Sand Hill (Di Atas Bukti Pasir Prahara) was staged in
Taman Budaya Surakarta, with an accompanist of Gamelan music and dancing from
Lapen Community 151 Yogyakarta. His theatre script, entitled, ZAITUN: Light of
the Lights, was also staged in Jember Satate University (UNEJ) and in State
Islamic Institute (IAIN) Surabaya on July 2007. This perform was directed by
Tomtom from Tiang Jember Theatre.
Furthermore, Nurel once established a magazine, “Gerbang
Massa”; Long East Literature Journal; a Cultural Journal, “The Sandour”;
Lamongan Literary Forum, and joined to Kostela besides. Nurel often provides an
introduction for some of books from other writters, and he often becomes a
speaker in discussion or seminars forums, a jury for competition of poetry-
writing and reading. Moreover, Nurel also often participates in either national
or international literary festival at Indonesia. At the present he is editor in
chief for a publisher, PUstaka puJAngga.
***
Endorsemen Kulya dalam Relung Filsafat
“Nurel Javissyarqi itu api yang tak pernah mati, hidupnya
adalah bara yang terus berkobar, konsistensinya jadi energi yang tak pernah
habis, teruslah menekuni dan menerangi dunia sastra Indonesia.” (Akhmad Sekhu,
sastrawan)
“Yang saya lihat, Cak Nurel itu “Bahasa Perlawanan”.
Karya dan komunitas yang diperjuangkannya juga “Bahasa Perlawanan”. Tapi,
sebagai fenomena bahasa, ia mati sejak awal, dan menunggu pihak lain untuk menggunakannya.”
(Imam Nawawi, Budayawan-Santri Madura)
“Menjadi seorang pegulat pada hal yang dicintai tidaklah
mudah. Butuh konsistensi dan keteguhan. Dipenuhi ambisi dan ketekunan dalam
menempa dan menempuh jalan. Sebuah panggilan hidup, jalan sunyi dan perjuangan
melawan diri sendiri. Untuk sampai pada lentera ufuk timur, yang memberi sinar
teduh bagi masyarakat sastra. Pejuang itu nampak pada wajah Nurel Javissyarqi.
Meski badai dan kemelut sempat menerjang, mengerami nasibnya, ia selalu gigih
dan mandiri. Tak pernah takut bertarung sendiri. Menjadi dirinya yang mencintai
kata-kata, yang kelak menjelma mantra sunyi.” (Rakai Lukman, Sastrawan)
“Nurel Javissyarqi seorang sastrawan yang menarik.
Tulisannya ceriwis. Tapi keceriwisan yang kerapkali mempersoalkan persoalan
yang jarang hinggap di pikiran kita. Ia menyimpan “ketidakpercayaan” yang gawat
terhadap “nama besar”. Sehingga sastra Nurel lebih pada suatu sikap “menguji
nyali” menantang para pendekar sastra Indonesia dalam sebuah “pertarungan”
terbuka dengan menanggalkan “mitos” dan “nama-nama besar”. Sikap itu menarik di
tengah kehidupan sastra kita. Nurel membuat jalur baru, dan ia mengajak siapa
saja melewati jalurnya itu.” (Taufiq Wr. Hidayat, Penulis, tinggal Banyuwangi)
***
Endorsement Kulya in the Niche of Philosophjy
Translated by Muhammad Muhibbuddin
“Nurel Javissyarqi is a fire that never dies out, his
life is blazing ember and his consistency is energy that is never extinct. Explore and
illuminate persistly Indonesian literature” (Akhmad Sekhu, a poet)
“I regard Cak Nurel as “a resistence language”. Works and
communities that he fights for are also “a resistence language”. However, as a
phenomena of language, since the beginning he has been dead and waiting for
other person to use it (Imam Nawawi, a santri-humanist from Madura)
“Becoming of a fighter for something beloved is not easy.
It needs consistency dan constancy; must have passion and persistence for
forging and going through a way. A duty; loneliness and struggling for
resisting his self. For reaching an enlightenment of eastern horizon causing to
shine shady light to literary community.
Thesuch warrior is on Nurel Javissyarqi’s face. Although storm and
trouble once hitted and gripped his life, he always be persistent and independent.
No fear to fight by himself. To be himself loving words which is going to be a
silent mantra in the future.” (Rakai Lukman, a poet in East Java)
“Nurel Javissyarqi is a very interesting poet. His
writing is chirping. But, the chirping of Nurel’s works much more questions
something that we never think. He conceals serious “mistrust” of “repute” or “greatness”.
Because of that, Nurel’s poetic performance tends to be a “test of courage” for
challenging well-known Indonesian poets in the open “fighting” area as a effort
to overthrow “myth” and “reputation”. This is of course an attractive
performance in the midst of our literary life. Nurel created new path, and he
invites whoever to pass through his such new way.” (Taufiq Wr. Hidayat, a
writer at Banyuwangi)
***
http://sastra-indonesia.com/2009/09/epilog-kulya-dalam-relung-filsafat/