Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=205
Keberanianmu menggaris palet dengan tegas,
jujur saja, waktu lembut semakin dalam
setebal kelam gurat menohok, mencipta angin membiru (XV: I).
Datang tiba-tiba bertambah penuh,
seakan cawan yoni setia menanti panas lingga (XV: II).
Ia sederhana memaknai ketakutan,
lalu bayang siapa mengusap bulukudunya? (XV: III).
Kala langkah tak disapa, berdiri tak lagi hormat,
terpaksa kabur di tengah terik siang menyengat (XV: IV).
Ruang-ruang kosong dihuni jejaring sepi,
siapa tahu usia burung di balik kaca tebal? (XV: V).
Sedang ia asyik bertengger di dahan-dahan,
sesekali menyiasati gravitasi menyeimbangkan angan (XV: VI).
Terdengar lamat-lamat ribuan sepatu menderap,
tiada kepulan debu atau tanda matahari jatuh (XV: VII).
Semakin kencang bersuara serdadu, gemuruh mengeras
sekilas lenyap dalam telingamu terang menerawang (XV: VIII).
Kau singkirkan pembawa dunia ganjil,
padahal diselami kekurangan dirinya (XV: IX).
Cahaya melesat tiada pengikat, memetik makna selagi
berkesempatan, esok bakal tiba masa panen kesejahteraan (XV: X).
Rasakan artian terucap lewat berdiamnya diri dalam makom,
sebab mata bertemu saling bicara, surat saling berbalas (XV: XI).
Membentang bersulaman benang seirama, mendapati diri terperangah
terpesona jaman, hari ini terlewati, jika tak mengisi kedalaman sunyi (XV: XII).
Ketika matahari meninggalkan cahayanya,
derap degupan awan merapatkan barisan (XV: XIII).
Siang-malam menghapus tepian senja, melewati panggung ketakutan kalbu,
setubuh rerumputan kering merindu hujan mengurai nafas-nafas deras (XV: XIV).
Jika ada tersimpan, tersampaikan nyawa di musim kembang,
nyata ada seunting sajak ingin terlahir dari pembangun ganjil (XV: XV).
Memandang kentir, hidup bukan sekadar perubahan liar meliar,
bola-bolamata mengenyam kandungan kata cukup keluar (XV: XVI).
Ini petanda kejadian lepas serupa busur panah terbang melesat,
nafasnya hembusan pelita, terbang ke jantungmu tiada sia-sia (XV: XVII).
Jangan sampai tangkapanmu melesat, gemintang di cakrawala berjatuhan,
bulan-matahari berpancaran, kenapa kau laksana mendung bimbang? (XV: XVIII).
Siapa kabur mengisi hidupnya berlari, pintu-jendela dia masuki dengan tertatih,
tapi kenapa hilang perasaan, sampai bayangan enggan menyapa pagi (XV: XIX).
Dia berpaling, tidakkah cukup celak di sekitar matamu
memberi kepercayaan walau duka meraja di sana? (XV: XX).
Pandangmu lurus ke depan meninggalkan segala kenangan,
hisaplah fajar kelegaan, bayangan susut tenggelam,
kapan kau bercahaya saat waktu begitu nyata? (XV: XXI).
Menanti penuh lapar, belum cukup menarik bebijian ditaburkan,
karang berombak awan, sedang desah hujan menerpa rindu masa silam,
bersenyumlah pada hari-hari mengembalikan keceriahan (XV: XXII).
Menembusi jaman seakan nasib ombak membelah lautan,
merangkai lelintang berkedipan bulan bertemanan (XV: XXIII).
Menghampiri wajahmu di kegelapan menguasai sepi,
mengajak hening memberanikan diri membosan (XV: XXIV).
Sedang getar merawat keagungan semakin terjepit-menjerit,
setiapkali merapikan langkah tersendat tali kendali sukma (XV: XXV).
Ambillah rerumputan kering berguna sarangmu yang teduh,
berperekat liur dari muntahan bebiji sehabis dikunyah (XV: XXVI).
Semenjak singgah di hatimu, nyala abadi menerangi ciptaan
selaksa keteguhan lingga dalam upacara percintaan (XV: XXVII).
Ialah tungku mematangkan air sumur,
kau tangan niat, gerakan suci berpeluk mengabadi (XV: XXVIII).
Kau serupa semut mengusung gula-gula ke rumah
bagi pengertian memerdekakan dari kedekatan (XV: XXIX).
Perjuangan berlangsung demi anak-anak gelombang,
tiada putus menghempaskan perasaan hingga hilang kesiaan (XV: XXX).
Melukis hatimu lewat lambaian dan penantian tak jelas
seperti asap cerobong (XV: XXXI).
Kebaharuanmu melesat, meruh dalam dada mereka (XV: XXXII).
Di batas kota terasa hawa lain, sejauh bayangan mengendap kantukmu,
belaian bayu kasih melelapkan kekasih pada mimpi permaisuri (XV: XXXIII).
Sempurnakan dirimu mengepak sayap kekupu dalam ingatan selalu,
deras hujan pertama menyegarkan kenang mengikuti lamunan (XV: XXXIV)
; kecantikan cermin di ruang harum, lalu tubuh rebah
setelah jendela tertutup kabut selimut pecinta (XV: XXXV).
Di pendapa, getar sukma bergema atas restu langitan,
ia duduk pada singgahsana perhatian rasa bersatu (XV: XXXVI).
Kejadian ini terbesar, penunggang kuda terbang bersayap,
kibasan kabut kedewasaan menaiki gunung kejiwaan (XV: XXXVII).
Ini ruh agung menggeraikan seluruh daya keinginan, angin faham
perjalanan nalar menyetiai diri, nafas-nafas lekat pengalaman (XV: XXXVIII).
Merangkai usia tidak meletihkan pemberi hadiah,
itu pangeran di sisi sekuntum mawar tercinta (XV: XXXIX)
; terketuk pintu nuraninya menembangkan ayat-ayat lambaian senja, kala
beranjak malam ke pembaring ilalang, selamatkan rindu purnakan siang (XV: XL).
Kantuk merubah hasrat, mempertahankan malam sisa tenaga (XV: XLI).
Jagalah warna pelangi, agar tidak pudar hembusan angin sepoi (XV: XLII).
Pejamkan matamu berkesungguhan, menyempatkan sadar kantukmu
membaca dengan perasaan lapar (XV: XLIII).
Kau eja tubuh sendiri berulang mencari kepuasaan rendah (XV: XLIV).
Carilah dirimu pada kulit pohon hujan di terik mentari musim dahaga,
irama tropis memberi ketenangan lewat tidur lama-lama,
ini kembang lebih sekadar impian pencerita (XV: XLV).
Kuasailah panggung, bakar kepulauan dendam serta genggam alunannya,
bilamana tak berubah, suaranya memasuki lapisan langit pertama (XV: XLVI).
Segelas kohwa tak lagi menenangkan fikiran
ketika tarian api menjilati malam-malam di panggung rembulan (XV: XLVII).
Sebelum terkumpul tulang belulang,
ruh ditiup sedari kandungan tempaan langitan (XV: XLVIII).
Gairah pejaka menjebol kebekuan, tertatih memikul rindu mendaki,
menyeret rantai kaki, meminta tolong dikejar bayangan sendiri (XV: XLIX).
Ia taburkan bebijian cahaya di kepalamu, membimbing bagai anak sendiri,
yang tidak membaca lumpuh, ditemani tikar pesakitan hingga ajal menjelang
; jemari siapa yang menaruh butiran embun suci di kening tercinta? (XV: L).
Pepohon kering dilanda kemarau, kekupu mencecap madu kembang,
burung berayun di tangkai lentur, kicauannya gubahan mimpi sejati (XV: LI).
Kepakan sayapnya mengeja purnama,
merayakan perkawinan semesta atas restu ibunda pertiwi (XV: LII).
Kekal di mayapada, kau terpanggil datang benar jiwamu
terkumpul tenaga persetubuhan tersenyum berkecupan (XV: LIII).
Ditiup terjaga, kunjungannya menyuguhkan kekekalan (XV: LIV).
Jikalau di ambang maut teguhkan dirimu,
tidakkah bunga menawan di tepian jurang? (XV: LV).
Biji cabe jiwanya pedas, meski kering atas kekangan tirakat (XV: LVI).
Samudra menenggelamkan sampan diri punya rencana,
tubuh berpelukan debu, terdampar (XV: LVII).
Mengunjungi keharuman melewati ruang puja,
terimalah senyum menyapa kasih senantiasa (XV: LVIII).
Melepaskan rantai kaki, terbang cepat melebihi pendahulu,
hawa keikhlasan terawat, sejauh tak terbebani rindu terlalu (XV: LIX).
Jikalau ada mengikuti, ringan penderitaan mendengar kata-kata,
jadilah pengikut setia, jangan berhianat sebanding nyala apimu (XV: LX).
Terangnya kobaran perjuangan menjadi senyum memahami kejujuran,
gemintang di cakrawala membiru ruh yang akan melahirkanmu (XV: LXI).
Masa berjalan sederhana, tali-temali dilonggarkan,
jemari tiada bergairah memikat kertas, namun bacalah seterusnya (XV: LXII).
Guratan pena kepadamu mendorong kabut memburu bayu, perahu melaju
serupa lesatan busur panah ke sasaran, di depanmu ranting menodong (XV: LXIII).
Batu sebesar kerbau terjatuh dari bibir jurang, air sungai terpecahkan
pada titik kesadaran, mengeratkan tulang di balik daging pertemuan (XV: LXIV).
Lelangkah melewati keriuh-rendahan tebing sukmamu
menuju pebukitan barisan yang menguji kaki-kakimu (XV: LXV).
Di puncak bukit kiranya angin kaca menerpa jubah ketakutanmu dari
segala penjuru, mata-mata sedingin maut bersiap menjemputmu (XV: LXVI).
Yang berpuasa diam, jiwanya embun memanggil-manggil,
kelak mempersembahkan kelopak-kelopak kembang (XV: LXVII).
Wahai embun persetubuhan, letikkan matamu di kerajaan cahaya,
ia penebus kesetiaan berlaksa, mengunjungi kesunyian rasa (XV: LXVIII).
Siapa berhasrat meneguk niat membimbing cahaya rasa,
menggubah kidungan langit demi peribadatan,
tapi mereka enggan penasaran (XV: LXIX).
Bersulaman waktu mengisi keluh, tak perlu keterasingan di ruang tunggu,
jadikan terali besi pembebas kasih mematikan, racunnya berkeutamaan (XV: LXX).
Yang mati berkeadaan penasaran, serupa burung bangkai mencincang
membuka ruh menelusup urat nadi, mengalirkan darah kembali (XV: LXXI).
Dia bumi kau hujamkan tetangkai kembang, nafas angin mengeja langitan
para penyair tertikam sunyi, tangisan sesal mencengkeram uluh hati (XV: LXXII).
Ada jalan terduga, kematian sebab kesepakatan singkat, tetangkai patah,
duri menggores kulit, darah membeku memendam cahaya tabah (XV: LXXIII).
Ini getar jiwa mengarungi mimpi, belahan tenaga mengunjungi bengi,
bintang-gemintang tereja pandangan keteduhan yang sejati (XV: LXXIV).
Berjalan menuju lereng pebukitan cinta, kaki-kaki lincah
sebebas udara mengenal akrab warna dedaun bercahaya (XV: LXXV).
Yang sanggup membuka gerbang dihirupnya rindu pada selipan doa,
malam mengangkat kabut berharap butir embun utuh di tangan (XV: LXXVI).
Ia tiba-tiba datang menggedor pintu paling rahasia
pada rumah tua ditumbuhi sarang laba-laba (XV: LXXVII)
; sepenuh debu purba di keningmu tergaris sesalan, maka songsonglah
daging mengalirkan darah muda, demi ruang gejolak api jiwa (XV: LXXVIII).
Meniti ondak-ondakan gelombang ke tingkatan awan senjamu,
mendorong bentukan diri sealunan pebukitan melestari (XV: LXXIX).
Kapuk randu menuwai usia mengikuti angin bersinggah,
derajat ini kasih menambatkan tali-temali kuda pecinta (XV: LXXX).
Ayunan tangkai teratai memekarkan kelopaknya di rawa-rawa,
sedang lentera pejala ikan, menerangi sejauh lemparan (XV: LXXXI).
Embun berdenting sepetikan dawai dalam lelaguan damai,
mula hasrat, lalu pertemuan menggubah semangat (XV: LXXXII).
Panggilan penunggang kuda mendatangkan badai hujan deras menghalangi,
hanya kekasih tahu waktunya reda, merebahkan pandangan (XV: LXXXIII).
Asalnya dibalik gemawan mengendap di langit biru, iman tidak lepas
panasnya bara tungku, keikhlasan serupa anggur paling suci (XV: LXXXIV).
Ingatannya membumbung meninggalkan tahta mentari, batu hitam terbelah
atas cahaya keyakinan, inikah peperangan terbesar itu? (XV: LXXXV).
Pada bukit kapur, kabut turun menenggelamkan perasaan,
batasnya di tenggorokan (XV: LXXXVI).
Kenapa kalian dalam persekutuan sesat,
melukis sepekat arak-arakan burung gagak? (XV: LXXXVII).
Kilatan petir menderaskan gerimis memanggil kawanan bangau,
dan tiada lagi kebimbangan mencuat dari ubun-ubun (XV: LXXXVIII).
Ruh lama menggugat, nafas-nafas kesembuhan diapungkan (XV: LXXXIX).
Tangkaplah suara jejaring laba-laba, perdengarkan gemerisik hembusan
bayu kepadamu, sedang kekupu itu rengkuhan musim bunga tubuh (XV: XC).
Melewati pori-pori udara, kau dibimbing menerbangkan kuda sembrani
sejauh kakimu kuat mengapit, aromanya tak lepas tombak peperangan (XV: XCI).
Lengan cekatan mengayun semangat, dentuman genta menggendam
menuwai awan kerajaan angin, tempat muasal berita kemenjadian (XV: XCII).
Yang tak ingin cepat tua jadilah mengembara, menerjang kebajikan,
panahmu membidik apel, atau sebilah pisau mengupas kulitnya
yang cepat kering walau masa tak memaksa (XV: XCIII).
1993
1995
1997
Aguk Irawan Mn
Agus B Harianto
Agus B. Harianto
Ahmad Syauqillah
Andhi Setyo Wibowo
Andika Ananda
Andong Buku #3
Arti Bumi Intaran
Balada
Balada-Balada Takdir Terlalu Dini (Ballads of Too Early Destiny)
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Utama
Biografi Nurel Javissyarqi
Brunel University London
Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Daniel Paranamesa
Denny Mizhar
Diskusi 3 Buku Sastra 22 Juli 2011 di Yogyakarta
Eka Budianta
Enda Menzies
Hamdy Salad
Ibnu Wahyudi
In memoriam
Indrian Koto
Iskandar Noe
Jogjakarta
Jombang
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf An
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kedai Sinau Malang
Kitab Para Malaikat (the book of the angels)
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Laksmi Shitaresmi
Lamongan
Lathifa Akmaliyah
Leo Tolstoy
M. Yoesoef
Media: Crayon on Paper
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Murnierida Pram
Naskah Teater
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
PDS. H.B. Jassin
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Reuni Perdana Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak 1991-1992
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Teater Jerit
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra ke #24 di Warung Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Syaifuddin Gani
Tarmuzie (1961-2019)
Ts. Pinang
Ujaran
Universitas Indonesia
Veronika Ninik
Welly Kuswanto
Wislawa Dewi
Isi Kandungan Buku Kritik Sastra
- @ Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- # Akhirnya