Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=203
Setelah terhenti, dunia baru terlahir, wewarna bunga-bunga bermekaran
dicahayai langit, merangkum kelopak malam-siang silih berganti (XVI: I).
Di mana mencapai kutub menguasai kasih manunggal,
suratan takdir iramanya kata-kata bernada nasib, yang digubah atas
kidungan moyang, dari tirakat pujangga bertujuan mulia (XVI: II).
Ia kembala saat pelangi berpendaran merayu insan setia
diberi kemudahan segar, warna cahayanya atas mentari (XVI: III).
Ucapannya berasal rongga dada akan air merayap di tenggorokan sukma,
kemantapan buyung dipanggul di pinggul para gadis, dan airnya bergoyangan
ketika melangkahkan kaki sedari sungai kemakmuran (XVI: IV).
Ia mengusung keajaiban, pencari bertemu tiada lupa,
jujur mengelupas kulit-kulit pepohonan rahasia rasa (XVI: V).
Para lelaki beradu rimba nasibnya, siapa sangka besi
sanggup terbang? Batu mengapung? Kayu bertenggelam? (XVI: VI).
Sudah menjadi kebiasaan, sekarang lupa sanak-kadang,
menuntut ilmu ke negeri jauh melalaikan pegangan (XVI: VII).
Niatan kencang diayun khilaf dari lahir menuju kematian,
sayang, yang didamba secuil kesenangan (XVI: VIII).
Pitutur ini penggalian diri bukan berasal guru bakal dilupa,
kesadaran bijak seiring matang bebiji merunduk mesrah,
serupa ruh padi terkulai ikhlas berisikan nilai (XVI: IX).
Usah khawatir waktu tentunya memberi telempap, segala terlewati menjadi
pelajaran, jangan merugi sebelum menang dari ikhtiar tanpa sesalan (XVI: X).
Jangan terlalu risau mengenai hidup, sebab insan di hadapan semua sama
mendekati kemuliaan, padanan debu Adam berpisah sebelum berjumpa (XVI: XI).
Sesuap nasi liwet seteguk air terasa, tuhan memanjangkan umur kembara
dari ibunda menjangkau ruh tangisan doa, seharga pahit empedu kecewa (XVI: XII).
Sepotong roti di meja, pengemis datang padamu bermata cekung menatap,
getar tubuh menyunggi, hanya iman kuatkan jalan ke taman kerelaan (XVI: XIII).
Suci seimbang pundak bukit lestari di kaki-kaki langit,
tersebab tangisan bayi sanggup menunda bencana (XVI: XIV).
Derita menambah timbangan, berhamburan hawa menutupi cermin hatimu,
perlu kesadaran, tidak hilang pun kurang, selebihnya milikmu diketahui (XVI: XV).
Otak bernalar meremehkan sangatlah tercela dalam penciptaan, maka
rawatlah keindahan dengan melewati daya singgah penyesalan (XVI: XVI).
Pertemuan tiada terkira dijalankan,
seumpama pedagang berhitung ikhtiar sebelum selidiki peluang (XVI: XVII).
Embun meresapi dedaun berasal dentingan perhatian,
kecantikan bumi di antara jagad ayu (XVI: XVIII).
Merangkum impian serupa jaring laba-laba rapuh kesombongan (XVI: XIX).
Manusia mengumpulkan puing kesadaran pagi memaknai hayat
demi pergantian musim dedaun gugur menguncup sunyi (XVI: XX).
Cepat-lambat kehendak menyampaikan asal niat, tubuh sungai
terlentang memuara, malam-siang pertukaran warna busana (XVI: XXI).
Yang sepi tak selamanya tiada, gua menyembunyikan wewarna dan bunyi
dikubur waktu terawat sunyap, sedang kalian hanya menambah-tanya (XVI: XXII).
Perasaan jernih kebaikan patut ditular, dan pohon itu tersanjung oleh
buahnya, yang terjatuh mengikuti arus sungai pencarian (XVI: XXIII).
Ia tuangkan anggur kepastian, lautan berpenghuni perbendaharaan
dan pengetahuan itu, sepercik cahaya lintang pada gelombang (XVI: XXIV).
Yang buta membutuhkan tongkat, yang kehujanan perlu peneduh,
dalam permainan tiada patut mengeluh-mengadu berbenci diri (XVI: XXV).
Gejolak kadang tenang menyungai, bebas berlari sejauh cintamu
berbeban rindu bertalu, dan cemburumu setebal menggebu (XVI: XXVI).
Ia membuka pagar lebar-lebar kala kau menapaki ke petamanan,
pujian seampas manisan, menjemput hiburan berunjung (XVI: XXVII).
Kau cemooh penganutnya pengangguran, dan menikmati
badai persekutuan, merasa kesenanganmu terancam (XVI: XXVIII).
Ia tidak menyukai merayu lewat ancaman, kenapa musti ketakutan?
Tersebab bodoh, geram tidak sanggup mengelaknya (XVI: XXIX).
Insan terancam lagi dungu, tertawa bergandeng pekabutan,
karena hanya genggam kata-kata kosong belaka (XVI: XXX).
Para pengarang yang sanggup melawan birahinya,
meneguk mataair abadi tanpa seteru waktu (XVI: XXXI).
Bulir-bulir mutiara di antara bebatuan kerikil, siapa cemburu akan itu?
Yang berdialog sendiri memiliki kebaikan, menyelinapkan keyakinan dalam hati,
mengawasi kesadaran atas tipu daya persekutuan (XVI: XXXII).
Langit bertingkat bintang-gemintang kuasa tuhan, yang beredar
dicipta musuh peperangan, kehancuran batu berdebu (XVI: XXXIII).
Insan utama laksana embun dedaun, kasihnya penerimaan
sekaligus kesadaran penyangkalan tulang rusuk (XVI: XXXIV).
Adakah lebih menarik dari itu? Kemarahan menjatuhkan diri
ke dasar kehinaan, atas mimpinya melewati dusun terasing (XVI: XXXV).
Ini cermin langka kembara, esok terkuak pada siang melesat (XVI: XXXVI).
Kenapa dikuasai mimpi? Apa merasai tanpa pedulikan diri? (XVI: XXXVII).
Mencipta rahasia dicintai, akan tahu banyak tentang kekasih,
yang menjauh merasa pintar, sewaktu dekat kebodohannya terlihat (XVI: XXXVIII).
Keabadian tembang pujian terkandung dalam perut kesemestaan,
pengetahuanmu memahami gairah bimbang menempa (XVI: XXXIX).
Terkadang dilebihkan mempelajari keberanian berbuncang,
mengarungi keterikatan membeletat sangkar langitan (XVI: XL).
Lama merawat panjang rambutnya, menghidupkan ruh membangkitkan jiwa
ialah sang putra mahkota kegelisahan, berkekasih belumlah matang (XVI: XLI).
Jemari tangan menggapai kabut, mengumbar kesenangan,
dirinya bergentayangan pilu Merbabu, berlalu tanpa teman (XVI: XLII).
Telinga pendendam tersumbat kobaran api unggun tak peduli kepulan,
kelelawar menyerbu senjakala, mencicipi buah bulan sekarat (XVI: XLIII).
Siapa menari dalam pesta menghampiri matahari atas ilalang
pada pantai pengharapan serupa ombak ditumpahkan (XVI: XLIV).
Melangkah ragu keluar gapura, ucapkan salam perpisahan meski sesaat,
bintang-gemintang menghibur tiada cukup menemani kasih damai (XVI: XLV).
Saat tanggalkan satu-persatu keheningan, mata tiada sesal berulang menuruni
waktu luka dada, bumi-langit fajar nyalang terlunta mencari hikmah (XVI: XLVI).
Ke selatan lautan mendidih, ke utara gunung memuntahkan lahar,
ke barat ilalang terbakar halilintar, ke timur menuju jurang (XVI: XLVII).
Segerombol awan menghilangkan hari-hari kebosanan, telinga dihuni pekat,
terus ke mana kebekuan tinta sebelum lanjut bicara? (XVI: XLVIII).
Ketika temukan ruang lupa terlupa, air merangkak di tenggorokan siapa?
Mari menemani kekasih menuntun laku secepat kembalikan dirimu (XVI: XLIX).
Bukankah gulungan ombak tidak menguras lautan? Terimalah
kemalangan tenggelam, jikalau tubuh mati menjelma karang (XVI: L).
Ia merawat tapi kalian mengabaikan,
seolah tak pernah bernafas angin ketertinggalan (XVI: LI).
Sempatkan waktumu merenung di kedung, mata dipaksa,
telinga tuli keburukan, bacalah gelisahmu teramat ganjil (XVI: LII).
Sebongkah batu menggelinding pecah rompal berhamburan,
ada ruang di batas biru merentang keyakinan, tersiarkan wengi terjaga,
mengintai angin menyisir embun membasuh wajah pagi (XVI: LIII).
Yang memastikan tirakat tak berguna ragu kesendirian berbicara,
di masa tak mengenali serupa kemungkinan tiada terjadi (XVI: LIV).
Suwong? Hanya kejernihan hati berpandangan, menggaris tongkat
di pantai merasai butiran garam, kabut singkup senyawa senyumanmu
pada bulir-bulir pasir perasaan lautan (XVI: LV).
Terkantuk hilang sesaat, sukma tetesan air memahat batuan nisan,
tersandang pecinta lelap terbuai, kesunyian bukanlah tiada (XVI: LVI).
Teguklah air tawar mengusir kering dahaga
demi menguap tekanan malam paling cemas (XVI: LVII).
Mengajak cakrawala bincang, mula gelisah lalu kelegaan terasa,
segera tercurah kesetiaan suci dari debu keinginan purba (XVI: LVIII).
Kabut menjelajahi kerajaan langit, manakala tertidur
bermimpi dibangunkan, maka carilah dalam diri! (XVI: LIX).
Malam berbunga mewangi dan bayu berkabar kemasyhuran,
ia mematangkan waktu terus mengarus pengentasan (XVI: LX).
Daya letih meruh menyebarkan debu jiwa beterbangan,
lenyap sudah atas cahaya gapura terbuka lebar (XVI: LXI).
Siang tubuh malam jiwanya, persetubuhan bocah sembari tanah lempung
yang menggelinding sebesar hasrat menuntaskan langkah-langkah (XVI: LXII).
Dedaunan gugur ke pangkuan sungai mencipta ombak, dia mengikuti,
kau tak sabar menanti, olehnya kau sebut kesiaan padahal berisi (XVI: LXIII).
Tak urung kekupu berkecup di pipi sungai, kau fikiran paling dalam,
melayang berkendara bayu tiada kuasa hari-hari dibasahi pagi (XVI: LXIV).
Meronta api hidupmu menari di depan gua kesaksian bernyanyi,
menggiring pada upacara puja, kabut berawan menurunkan hujan (XVI: LXV).
Bacalah petir bersahut kilatan cahaya membelah kulit malam,
hanguskan bebunga getaran dingin-panas mencekam (XVI: LXVI)
; pujangga terlahir berselubung sekar meninggalkan tangkai,
nyanyian angin berdendang ombak melintasi ingatan (XVI: LXVII).
Hampir urat lehermu patah, dahan diterjang topan amarah,
akar-akaran tercerabut, pohon tumbang terkubur dendam (XVI: LXVIII)
; dayadinaya menarik langit ke belahan bumi, secepat terang menggelinding,
bersandar di bawah pohon buah mulia yang tangkainya terpelihara ( XVI: LXIX).
Kesetiaan kelopak kembang bersimpan makna, pada gilirannya sungai
letih merangkak ke tanah, kemarau meninggikan drajat mataair (XVI: LXX).
Tubuh cucuran keringat menebarkan garam, tak habis dikibas bayu lembah,
bukankah pohon jati dikokohkan musim kemarau? (XVI: LXXI).
Panas lahar getaran gersang, seluruh daya tersengat mentari
dan burung gagak di saat senjakala pulang ke sarang mega (XVI: LXXII).
Asap pekat menguasai pandangan, terhuyung derita busur panah,
luka cecerkan darah disapu belerang, tubuh tersungkur hilang kejadian
meninggalkan, maka kemendadakan kudu dikuasai (XVI: LXXIII).
Nasib tak terelak menggaris peta,
hantu berkelana bimbang putus asa (XVI: LXXIV).
Laksana para pemberani mendobrak pintu-pintu langit,
awan bertangga dan segenggam keyakinan dalam dada (XVI: LXXV).
Ternyata ada banyak hal selesai bercermin, setelah menyisir rambut
yang terurai panjang menemui kesabaran (XVI: LXXVI)
; tubuh meruang embun sedingin mematangkan diri (XVI: LXXVII).
Yang lelaku sekali ucap jemarinya menyungai
sebiji-biji jagung diserah petani (XVI: LXXVIII).
Ini gemuruh dada pemahat cemas di balik pisau meruncing,
pepintu daun jendela muda membuka rumput gembala (XVI: LXXIX).
Tiada pendapat terhenti kekasih, lengkungan pelangi
bergerak demi arus rindu perjuangan menemui juntrung (XVI: LXXX).
Hanya kayu penggalan pedang keheningan semata
melepaskan kefahaman, dan tubuh mengikuti awan gugur (XVI: LXXXI)
; daun-daun keemasan, dahan ke ruang sunyi menjelma unggun
menerangi mata kesaksian, sedang penjaga menumbuk lumbung padi
dari sisa-sisa pencarian malam (XVI: LXXXII).
Rukuklah sembahyang, sayap-sayap membentangi lautan
dalam galaksi gagasan do’a berlembing usia (XVI: LXXXIII).
Melesatnya penyadaran menyambar nurani kekasih,
pada tiap tungku asmara ada kantong nyawa (XVI: LXXXIV).
Kupaslah jagung dipersembahkan butiran puja,
ditebarkan di altar wangi tengah malam, berjanji melepaskan duka
usia tubuh berdebu, tiada lagi kulit lusuh menemui ajal (XVI: LXXXV).
Kegilaan mencari keutuhan waktu, setebasan samurai membabat hujan
memabukkan jiwa di panggung mencekam (XVI: LXXXVI).
Mimpi mendamaikan gerimis, kau lunglai di kanvas langit
dalam cahaya matahari berbingkai renungan (XVI: LXXXVII).
Pusaran gelisahmu pudar di puncak waktu, langit terlewati tujuh pintu
misteri, tirai kalbu tersapu bayu-hujan pagi, melepaskan putih salju turun ke wajah
menentramkan mentari dalam pelukan teluk pesonamu (XVI: LXXXVIII).
Sewaktu lahir mengisi keluh, warna-warna ditimbang, insan setahan karang
cadas, sedang ombak memberontak membentuk keyakinan (XVI: LXXXIX).
Kelopak melati menebarkan untaian makna memecah ketinggian hening
menuruni nasib, burung-burung ngelayap, sayapnya disedot rebana cinta (XVI: XC).
Kasihmu tunggang-langgang disabda badai, sejauh benang mengurai
kepergiamu, jangan lebihkan masa penangguhan, tidak disangka
dalam genggaman tangannya bersimpan logam mulia (XVI: XCI).
Seputih kejujuran kertas pada pantai para penyair, pengorbanannya
menyembul keluar, memberi lapar pagi bagi pejalan kaki berwajah batu (XVI: XCII).
Para peminta diberi pintu kabut, ketuklah bathinnya berhembusan bayu,
agar anggrek terkalungkan pada lehernya, menarik nafas pelahan (XVI: XCIII).
Kepada tapakan pulang, pepucuk cemara ditarik angin berulang,
lambung kembara mendentang, menempuh masa kelesuan (XVI: XCIV).
Meminum air terjun sakitnya berkeringat dendam,
sedari pendakian gunung masa kelam (XVI: XCV).
Waktu terselip di jemari, menyibak ilalang memeluk senjakala,
bunga renungan di ufuk penyadaran meneguk niatan (XVI: XCVI).
Di antara gemah gemerlap malam, kerlingan doa atas tarian memuncak,
berasal paletmu berlatih sketsa (XVI: XCVII).
Sebelum kuas di kanvas mengalirkan rindu, kau terpanggil mendapati
prahara cermin, andai racunmu menebarkan duka lain (XVI: XCVIII).
Dalam pedati penyesalan menuju akhir,
tertimpa putus-asa atas ketinggian penciptaan (XVI: XCIX).
Hawa pagi mengharap riuh pasar terjaga angin keprasahajaan,
mata merangsek beling, terpantul kangen embun dedaun (XVI: C).
Lentik jemari penari tebarkan pesona di lekuk kelembutan
kembang, yang bersimpan kilatan pedang pemikiran (XVI: CI).
Di tengah siang, warna hening langit berawan kembara,
seekor burung terbang ke arah timur bersayap malam (XVI: CII)
; kekasihnya menanti pekik panggilan,
kala terpetik kasih digayuh kalbu sayang (XVI: CIII).
Menggapai lembah, pesawahanmu mengantar bau pepadian,
harum kearifan ditarik berulang para pencari keutamaan (XVI: CIV).
Hasrat sambilalumu gelayutan di jendela bayu tamparan waktu,
kalbu diperoleh gemintang di malam-malam sahaja (XVI: CV).
Tertangkap alunan membalik manunggal,
mengelus kulit perasaan bergetaran ketakutan (XVI: CVI).
Wabah penyakit menghilang, sembuh jikalau
meminum empedu ialah para lelaki di dunianya (XVI: CVII).
Habis ocehan-umpatan tersebab mulutnya dikesalkan demam,
ia mempunya kisah meredam amarah sebening telaga jiwa (XVI: CVIII).
Cukupkan agar tak terbebani rugi dalam pertaubatan,
menyetujui lahir keterbatasan, merakit reranting jaman (XVI: CIX).
Senyum manis tertangkap bibir merekah, menghapus keraguanmu
melipat angan menemukan cahaya kepada reruntuhan malam (XVI: CX)
; mengisi usia kenangan, seumpama sungai mengaliri kerikil (XVI: CXI).
Memanggil ruh melepaskan semu diserah, menambah pedas matamu
diteruskan merompalkan dada, jantung terjal bunga karang pecah (XVI: CXII).
Ia kau pandang lelaki berlari,
manakala bulan di sampingmu memaknai bijian gemintang (XVI: CXIII).
1993
1995
1997
Aguk Irawan Mn
Agus B Harianto
Agus B. Harianto
Ahmad Syauqillah
Andhi Setyo Wibowo
Andika Ananda
Andong Buku #3
Arti Bumi Intaran
Balada
Balada-Balada Takdir Terlalu Dini (Ballads of Too Early Destiny)
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Utama
Biografi Nurel Javissyarqi
Brunel University London
Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Daniel Paranamesa
Denny Mizhar
Diskusi 3 Buku Sastra 22 Juli 2011 di Yogyakarta
Eka Budianta
Enda Menzies
Hamdy Salad
Ibnu Wahyudi
In memoriam
Indrian Koto
Iskandar Noe
Jogjakarta
Jombang
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf An
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kedai Sinau Malang
Kitab Para Malaikat (the book of the angels)
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Laksmi Shitaresmi
Lamongan
Lathifa Akmaliyah
Leo Tolstoy
M. Yoesoef
Media: Crayon on Paper
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Murnierida Pram
Naskah Teater
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
PDS. H.B. Jassin
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Reuni Perdana Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak 1991-1992
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Teater Jerit
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra ke #24 di Warung Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Syaifuddin Gani
Tarmuzie (1961-2019)
Ts. Pinang
Ujaran
Universitas Indonesia
Veronika Ninik
Welly Kuswanto
Wislawa Dewi
Isi Kandungan Buku Kritik Sastra
- @ Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- # Akhirnya