Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=201
Pertanyaan-pertanyaan tumpah bagai seribu kehendak terlaksana,
memburu tak terjangkau, terpontang-panting mencari gagasan sayang (XVII: I).
Jiwa pencari terus bergelora, menyembul dari akar-akaran keyakinan,
kau pantul wajah bercermin, guna percepat tancapkan pendirian (XVII: II).
Jangan kembalikkan keraguan, jawablah penuh tenang,
ia tahu pribadimu lebih mantap, membuka tatapan berhiasi wengi (XVII: III).
Tiada cukup kalimah mewakili tampungan gemintang,
murni dari ketinggian, sekiranya mabuk dirimu memukau (XVII: IV).
Lapangkan jiwamu serupa tanah dibasuh hujan,
sepadan anggur tertuang di cangkir kehormatan (XVII: V).
Kau dahaga akan suara busa asmara meluap ke tenggorokan hangat,
diteguknya sungguh hingga tandas kasih setia (XVII: VI).
Jika kau melambung sekapas randu ditiup bayu, namun siapa
menyaksikan prahara itu? Lalu siapa mengikuti tariannya? (XVII: VII).
Aku bersambut lagu suka cita, kenapa tak menderap maju,
padahal lugu serta keraguanmu teramat dekat pribadiku (XVII: VIII).
Seorang kembara di ladang tropisnya saat langit melekkan mata,
melihat sekawanan domba bercermin telaga (XVII: IX).
Menimang dayadinaya memperkirakan tujuan
ialah kematanganmu memiliki keraguan prasangka (XVII: X).
Suatu jembatan layang setiamu nan ganjil itu pengelanaan,
dan mereka persilahkan tersebab kau hakim sesama (XVII: XI).
Sisi lain belum kau dapati, maka duduk dan pastikan tetesan air ke batu,
cekungan tersebab dirinya mencurigai keliaran badan selagi membaca (XVII: XII).
Santunlah bibir menceritakan madu atau racun, ia tak menolak selagi kau
melucuti kerahasiaan, jikalau nyata berguna bagi pencarian kemurnian (XVII: XIII).
Pastikan lolos dari bentangan jala-jala perangkap, sebab siapa saja
bisa cemburu, saat tarianmu mengikuti nyala matahari mewaktu (XVII: XIV).
Kau purnama kala dirinya tak tampak, dan nafasmu laksana telaga
bersimpan persiapan, menenggelamkan bathin di kedalaman (XVII: XV).
Sekuntum padma di telaga, duduklah dalam mekar kelopaknya
mengabadikan keyakinanmu, serta jadikan jarak waktu pengalaman,
selagi menetapkan waktu walau cuaca menghalau bertemu (XVII: XVI).
Yang tidak terkira menjadi perhatianmu paling sungguh
kala kau timba air lagi mengangkat dari kedalaman sumur (XVII: XVII).
Kekupu terbang tersapu angin berlalu,
tidakkah esok berjumpa dalam percakapan mata? (XVII: XVIII).
Usah risau ke mana, ia memiliki lautan yang pelan tembangannya,
kau tertampar berkali-kali, kenapa masih membaringkan diri? (XVII: XIX).
Kau sebangsa kekupu kelelahan, sayap pancaran cahayamu memudar,
tapi kelepakan pujangga seterang warnanya, tersebab cahaya kurnia yang logis (XVII: XX).
Ketika terlelap kemabukan awal, kalian terhuyung jiwa memberat,
tenggelam dalam dengkur impian panjang dunia perbendaan (XVII: XXI).
Di saat semua ditinggal bayangan berkata, waktu menetap serupa
adanya, sedangkan perubahan di bebankan kepada masa (XVII: XXII).
Tiada pantas berseru waktu, lebih bijak berpulang kepada diri,
menerobos bayu, jangan salah menyelami lautan hayat (XVII: XXIII).
Sambut hawa dingin menggigit tubuh,
bergeraklah sepenuh jiwa, sedalam sunyi tak berwarna (XVII: XXIV)
; pecahnya di sela-sela batu awan rindu, sebelum terdampar
di pantai kesunyian nyata, letak tumpahnya kepastian (XVII: XXV).
Terasa dekat kebenaran memanggil, tapi tak ingin mengganggumu
tersebab kau seranum bayangan yang mampu merubah waktu (XVII: XXVI)
; manusia menapaki pribadinya laksana bintang terjatuh
kepada malam mengagumi kucing menggeliat (XVII: XXVII).
Syukurlah selagi bertempat-waktu,
dan tetaplah hening, beratnya semurni embun pagimu (XVII: XXVIII).
Sebagaimana kerahasiaan,
ia merawat senyum paling ganjil kemanusiaan (XVII: XXIX).
Bukan kepadanya nujum, ia pendukung paling kuat
dan termasuk golongan merugi, jika tak mampu beranjak (XVII: XXX).
Kau lamur di pandang waktu, ketenanganmu atas kesiapan peperangan
lebih dia alami, keyakinan tunggal penolongmu saat semua meragu (XVII: XXXI).
Jadikan waktu pendampingmu lalu tempat menyesuaikan,
ia berseru dalam bisik, aku tak mengulangi kalimah bila kau tiada lupa,
teguran selempang kayu penghalang laju perahu (XVII: XXXII).
Melewati itu setelah tahu arus melampaui,
dan aku mencintai para pemberani (XVII: XXXIII).
Seluruh alam menyaksikan pilihanmu, berhati-hatilah memandang,
kucing betina terlelap pulas, jadilah kupu-kupu penunggu,
menempelkan kaki-kakinya di dinding kayu (XVII: XXXIV).
Di kala terbangun, sapalah agar tiada kecewa mendera,
kekupu berkejaran tiada kesal, dan manusia menamainya kasmaran,
kesakitan mengabadikan kasih, tetapi mereka menyebut tragedi (XVII: XXXV).
Alangkah indah pupusnya lembar dedaun meresapi cahaya
ketika berpentas di panggung (XVII: XXXVI).
Ayam betina melindungi anak-anaknya penuh sayang
saat diintai elang, dan melabrak demi kedamaian (XVII: XXXVII).
Kalian tahu arti tanggung jawab mewarnai pribadi, dengan cat kau kenal,
akrab palet di kanvas, teramat senang sekaligus menyebalkan (XVII: XXXVIII).
Jika kau Ratu Sima, ambillah ketenaran Jalukencanamu, kau utusan
Kalinggapura, di mana keadilan sebagai tongkat kuasa (XVII: XXXIX).
Di sendang Jimbung, mata air rahmat purbawi,
beburung kembara menambatkan diri, meraup kejernihan sekitar,
bersuka cita teduh, dalam pergumulan jiwa-jiwa mandiri (XVII: XL).
Duduklah di batu hitam, kekasihmu sedang berenang; ikan emas di antara yang lain,
kau tentu memahami, bintang mana yang paling akrab di jantung (XVII: XLI).
Candi Abang kesaksian yang sama lewat mengukur kepekaan, burung Srigunting
mengurai sayapnya di ketinggian, ketika gerimis takdir menyapa (XVII: XLII).
Kau sekuntum harum khantil di daun telinga persuntingan jiwa,
kasihmu merentangi pulau Jawa sampai Swarnadwipa (XVII: XLIII).
Saat hari jadi keraton, kau lempar uang logam beserta beras kuning
bunga setaman, lalu rakyat jelata melapangkan jalan bagimu,
bersenyum menunggu kedatangan waktu (XVII: XLIV).
Suatu ketika sepasang pengantin melangsungkan pernikahan,
sangking melaratnya tiada sanggup memberi maskawin,
kau sungguh berbudi memberi pepundi Yatrakencana,
pemberianmu bernilai tinggi bagi rakyat jelata,
bagi penyaksi, berharu biru melihatnya (XVII: XLV).
Dengan uang Kepeng, perdagangan meningkat di pasar-pasar,
kau pengaruhi tentara dengan senyum ganjilmu yang memukau (XVII: XLVI).
Kehendak berkuasa ialah kekuasaan itu sendiri,
kehendak itu ruh kekuasaan, kekuasaan diraih melewati kehendak (XVII: XLVII).
Lewat senyuman, kau adili Pangeran Kumudasari yang mencuri emas di kuil
Tirta Sarira, yang mengunjungi bumi perdikan Karang Tumaritis, seperti
hembusan nafas keluar-masuk, dalam otakmu mencairkan suasana (XVII: XLVIII).
Mereka hanyut kebijakanmu yang merelakan tanah leluhur ditempati
gema pujian, sampai jiwa-jiwa insan mewaktu lelah mengartikan (XVII: XLIX).
Kau pepintu harum mengikhlaskan kebun sayurmu dipetik para papa,
rakyat jelatamu berharu-biru mata jelita di candi Bima (XVII: L).
Kemurahan hatimu sumber keabadian, pakaian kebesaranmu hijau
balutan bulu Cendrawasih, tidak ubahnya peri penunggu Candi Ijo (XVII: LI).
Keagungan terkadang konyol memalukan,
bukankah rasa malu serta bangga berdekatan seakan nurani dan nafsu? (XVII: LII).
Rerumputan merinding menebak sangka bumi manusia,
ibunda tercinta dari anak-anakan sungai hayat tanpa kekangan (XVII: LIII).
Kabut mengendap, kelemah-lembutan tiupan bayu bersentuh rumput,
di sini kehendak abadi, tiada menyesalkan keputusan (XVII: LIV).
Ia tak menyuruh kau duduk di hadapan Venus, serupa bangsa
Babilonia, siapa melempar koin menjadikan kau persembahan (XVII: LV).
Ia sendirian dalam teaterikal pandangan besar dunia, dan
semua persoalan tampak dalam gaung musikal agung (XVII: LVI).
Berapa pun harga kecantikanmu, ia tukar reinkarnasi keabadaian,
dititahkan lentik jemarimu menunjukkan jalan padang njinglang (XVII: LVII).
Langkah kasihmu tak terhitung sampai kaki-kaki sempoyongan,
berharap bayangannya mengikuti usia mudamu, terpesona syair pemikatan (XVII: LVIII).
Kau tidak keberatan menimba ke kota tua yang menimbun sejarah,
kenangan menampilkan keyakinan (XVII: LIX).
Ia membawa pebekalan kau beri, sebaliknya jaga yang ditinggalkan!
Usah menanti deru terlalu, biar langkah tak tersandung batu (XVII: LX).
Santunlah mendengar panjatan doa, jangan segan di dekatnya hanya
diam, laksana sampanmu terlalu mahal, atau benarkah sedingin itu? (XVII: LXI).
Tidakkah lebih tentram keikhlasan, dan kau wanita keras penampik impian,
mengartikan senyum harapan tidak terkira (XVII: LXII).
Ia tahu kau wanita terbaik dilahirkan bumi dari anak-anakan hujan deras,
tangisanmu merontokkan dosa-dosa sejarah di tengah perjuangan (XVII: LXIII).
Ia menunggu sampai waktu sepi cukup mewakili (XVII: LXIV).
Hasrat penjaga keganjilan mendaki mencapai puncak,
mendapati sendang beserta ikan-ikannya, membawa nafasnya mendekat (XVII: LXV).
Bisikan langit memulangkan sunyi dari hadapan terkira,
pertanyaan-pertanyaan sangat membebani jiwa (XVII: LXVI).
Padang sahara jiwanya dilanda langut kemungkinan rahasia,
tidakkah membeli sepotong baju berukuran suwong (XVII: LXVII).
Kau berkata, berkelahilah terlebih dulu serupa kawanan serigala
berebut tulang, sebab perdamaian tiada harganya, dan tiada mau membelinya
selain para pengecut, wahai insan-insan luhur (XVII: LXVIII).
Ia di tanjung karang paling tinggi, sedang gelombang samudra sangat jauh
di bawah, kau kepiting terdampar tiada hasrat mengarungi kembali (XVII: LXIX).
Yang tersekap dagingnya kering terjebak sengatan mentari,
nantinya sebagai santapan semut (XVII: LXX).
Menghitung ombak berdesah, berkali-kali gelombang kecil,
sekali waktu gulungan membesar, inilah putaran masa-masa,
hari-hari memiliki nama, ombak terbesar disebut hari disucikan (XVII: LXXI).
Selepas dari pantai kau ke sana kembali,
di saat membosan, bergegaslah menemui pedalaman (XVII: LXXII).
Bukankah keinginan seperti tuan memperbudak hambanya,
cobalah menyetiai lalu katakan; aku meyakinkanmu (XVII: LXXIII).
Ia memaklumi pelajar menanti panggilan terdalam,
namun gelora rindu tak pernah berkesudahan (XVII: LXXIV).
Sayapnya menyentuh bibir cakrawala, anak-anak merindu ibunda, tetapi ia ibunda
segala kemarahan, cinta buta menggemparkan. Apakah ini kedewasaan ? (XVII: LXXV).
Berlarian di pesisir pantai, akrab ombak serta butiran pasir di hati,
diajaknya riak putih, busa paling suci meniti-niti kepastian (XVII: LXXVI).
Maukah kau menjadi bahan pelajaran paling spesifik,
ketika kau dirinya, tidak kenal selain dirimu (XVII: LXXVII).
Terpenggal bayang keremangan, namun siapa meremehkan kerahasiaan?
Wujud keluguanmu bagi kebebalan mereka (XVII: LXXVIII).
Kau terlihat begitu nyaman
bila tak memberi letak duduk mereka (XVII: LXXIX).
Sang penggagas datang kepadamu, setenang keyakinan tak mengurangi
pebekalanmu, malah menambah, dikala waktunya telah tertibakan (XVII: LXXX).
Yang tersesat ke kota asing, pembengkakan luka sehabis terjatuh,
setelah melalui jalan terjal menantang dari biasanya (XVII: LXXXI).
Ia memberi letih, maka terimalah hidangan disuguhkan,
ia membagi haus berlebih, maka teguklah perasan buah asam muda (XVII: LXXXII).
Ia merawat tubuh keraguan, menimbun rayu dalam renungan kembara,
tersadarkan bathin mencekam oleh keheningan (XVII: LXXXIII).
Yang perbaiki jalan belum tahu ke mana menjulurnya tujuan, bagi yang pernah
saja, mengerti berapa kilo jauhnya merasakan cucuran keringat (XVII: LXXXIV).
Inikah penantianmu? Terlambat tetapi tak disebut kesiaan,
memaklumi pemancing menunggu mendapati ikan-ikan (XVII: LXXXV).
Tabuhan gendang menderang cahaya menghimpun peperangan, menusuk
ruang gelap busa, mabuk gugurkan dedaunan awan (XVII: LXXXVI).
Inikah cara menepati janji dunia penyair? Kan trauma besar,
merontokkan gigi-gigi palsu, rahang tambalan (XVII: LXXXVII).
Apalagi dipertahankan? Mengembangkan maksud memekarkan kembang
tersentuh, patuh menyirami hasratmu berbudi pekerti (XVII: LXXXVIII).
Ia laksana air mengalir dari ketinggian,
kata-kata mengenai jalan satu-satunya (XVII: LXXXIX).
Kebimbangan penuh, keraguan mutlak,
mengasyiki derita menggelinjak jiwa merdeka (XVII: XC).
Setelah lembah pesawahan nurani dahaga, subur keganjilan dari benang
-benang terpencil, degup jantungmu terbawa kehendak tak terkira (XVII: XCI).
Ini sajak terlangsir ketika ada, menjadikanmu berdaya kepakkan sayap,
paruhmu diasah batu karang, mentitili bebijian makna kembara (XVII: XCII).
Mengajarkan anak-anak terbang dari dahan ke penglihatan jiwa,
teguk, saat danau menyuguhkan salam kedamaian mata (XVII: XCIII).
Di atas ketinggian batu karang, dedahan menjulur ke awan,
daunnya sahaja meninggalkan embun bagi pengajaran insan (XVII: XCIV).
Berkumpulnya waktu menggairahkan hasrat menggebu,
deru memukul ruang bisu, berteriaknya hati kelabu (XVII: XCV).
Kau mendapati firasat ganjil kesadaran, membisikkan masa pernah ada,
sebelumnya berupa nyala, lalu disebut pemberani, ruh-ruh terlahir (XVII: XCVI).
Dalam pribadinya tiada perlu adanya saran, sebab telah bersemayam wejangan,
sedang yang masih menghitung ragu, tersandung langkahnya (XVII: XCVII).
Ruh para pemberani berkecukupan, tiada kekurangan dalam kesunyian,
nalurinya bermahkota raja, jiwanya selaksa angin membuncang (XVII: XCVIII).
Bukankah kembara itu penerima serupa karang, pemberi laksana gelombang,
dan faham gempa taupan jiwanya, mematangkan kasih sayang (XVII: XCIX).
Duri-duri ilalang masih menyisakan darah masa silam
dan belumlah kering beku, embun di pagi-pagi itu (XVII: C).
Saat bibirmu tersapu angin lautan, keningmu tanjung karang ke ufuk mungil
kerinduan, sejauh ombak membawa kapalmu ke pulau matahari (XVII: CI).
1993
1995
1997
Aguk Irawan Mn
Agus B Harianto
Agus B. Harianto
Ahmad Syauqillah
Andhi Setyo Wibowo
Andika Ananda
Andong Buku #3
Arti Bumi Intaran
Balada
Balada-Balada Takdir Terlalu Dini (Ballads of Too Early Destiny)
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Utama
Biografi Nurel Javissyarqi
Brunel University London
Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Daniel Paranamesa
Denny Mizhar
Diskusi 3 Buku Sastra 22 Juli 2011 di Yogyakarta
Eka Budianta
Enda Menzies
Hamdy Salad
Ibnu Wahyudi
In memoriam
Indrian Koto
Iskandar Noe
Jogjakarta
Jombang
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf An
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kedai Sinau Malang
Kitab Para Malaikat (the book of the angels)
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Laksmi Shitaresmi
Lamongan
Lathifa Akmaliyah
Leo Tolstoy
M. Yoesoef
Media: Crayon on Paper
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Murnierida Pram
Naskah Teater
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
PDS. H.B. Jassin
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Reuni Perdana Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak 1991-1992
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Teater Jerit
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra ke #24 di Warung Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Syaifuddin Gani
Tarmuzie (1961-2019)
Ts. Pinang
Ujaran
Universitas Indonesia
Veronika Ninik
Welly Kuswanto
Wislawa Dewi
Isi Kandungan Buku Kritik Sastra
- @ Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- # Akhirnya